TEKNIK JALAN RAYA II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Perkerasan
jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk
melayani beban lalu lintas. Agregat yang biasanya dipakai dalam perkerasan
jalan adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan
baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain semen, aspal dan tanah
liat. Selanjutnya, perkembangan cara perhitungan tebal konstruksi perkerasan
jalan di Indonesia dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu
Tahap
ke-1 :menitikberatkan kepada pengalaman-pengalaman di
lapangan, sehingga rumus/perhitungan yang diperoleh adalah rumus-rumus empiris;
Tahap ke-2 : menitikberatkan kepada teori dan analisis meski hanya merupakan teori pendekatan yang dilengkapi dengan pengalaman; rumus yang diperoleh adalah rumus-rumus teoretis yang dilengkapi dengan koefisien-koefisien hasil pengalaman untuk keperluan praktik disertai pula dengan grafik atau nomogram
Tahap ke-2 : menitikberatkan kepada teori dan analisis meski hanya merupakan teori pendekatan yang dilengkapi dengan pengalaman; rumus yang diperoleh adalah rumus-rumus teoretis yang dilengkapi dengan koefisien-koefisien hasil pengalaman untuk keperluan praktik disertai pula dengan grafik atau nomogram
Tahap
ke-3 : mengembangkan rumus-rumus teoretis tersebut di atas
dengan percobaan yang intensif di laboratorium sehingga menghasilkan rumus/persamaan
analitis yang dilengkapi dengan rumus empiris laboratorium.
Perkembangan teknik jalan seiring dengan berkembangnya
teknologi yang ditemukan umat manusia Jalan yang diperkeras pertama kali ditemukan di
Mesopotamia berkaitan dengan ditemukannya roda sekitar 3500 tahun S.M. Konstruksi Perkerasan berkembang pesat pada jaman
keemasan Romawi, pada saat itu telah dimulai dibangun jalan-jalan yang terdiri
dari beberapa lapis perkerasan sampai awal abad 18.
Pada
tahun 1980-an diperkenalkan perkerasan jalan dengan aspal emulsi dan butas,
tetapi dalam pelaksanaan atau pemakaian aspal butas terdapat permasalahan dalam
hal variasi kadar aspalnya yang kemudian disempurnakan pada tahun 1990 dengan
teknologi beton mastik. Perkembangan konstruksi perkerasan jalan menggunakan
aspal panas (hot mix) mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1975, kemudian
disusul dengan jenis yang lain seperti aspal beton (asphalt concrete/AC) dan
lain-lain. Teknik-teknik tersebut kebanyakan hanya mengembangkan jenis lapisan
penutup tempat dimana muatan/beban langsung bersinggungan. Perkembangan dan
inovasi tersebut dilakukan demi menjaga keamanan dan kenyamanan pengguna jalan
sekaligus diharapkan dapat mereduksi biaya pembuatan maupun perawatan
(maintenance). Jalan aspal modern merupakan hasil karya imigran Belgia Edward
de Smedt di Columbia University, New York. Pada tahun 1872, ia sukses
merekayasa aspal dengan kepadatan maksimum. Aspal itu dipakai di Battery Park
dan Fifth Avenue, New York, tahun 1872 dan Pennsylvania Avenue, Washington D.C
pada tahun 1877.
Konstruksi
perkerasan menggunakan semen sebagai bahan pengikat telah ditemukan pada tahun
1828 di London tetapi konstruksi perkerasan ini baru mulai berkembang pada awal
1900-an. Konstruksi perkerasan menggunakan semen atau concrete pavement mulai
dipergunakan di Indonesia secara besar-besaran pada awal tahun 1970 yaitu pada
pembangunan Jalan Tol Prof. Sediyatmo. Metode ini selain menghasilkan jalan
yang relatif tahan terhadap air (musuh utama aspal) juga dapat dikerjakan dalam
waktu yang cukup singkat.
Secara
umum perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia mulai berkembang pesat
sejak tahun 1970 dimana mulai diperkenalkannya pembangunan perkerasan jalan
sesuai dengan fungsinya. Sementara perencanaan geometrik jalan seperti sekarang
ini baru dikenal sekitar pertengahan tahun 1960 dan baru berkembang dengan
cukup pesat sejak tahun 1980.
John Louden Mac Adam (1756-1836), orang Skotlandia
memperkenalkan konstruksi perkerasan yang terdiri dari Batu kali/ batu pecah,
pori diatasnya ditutup dengan batu yang lebih kecil kemudian dikenal dengan
nama Perkerasan Macadam, untuk
memberikan lapisan yang kedap air maka diatasnya diberi lapisan aus menggunakan
aspal diatasnya ditaburi pasir kasar. Pierre
Marie Jerome Tresaguet (1716-1796) dari Prancis mengembangkan sistim lapisan
batu pecah yang dilengkapi dengan drainase, kemiringan melintang serta mulai
menggunakan pondasi dari batu. Thomas Telford
(1757-1834) dari Skotlandia membangun jalan mirip dengan apa yang dilakukan
Tresaguet. Konstruksi perkerasannya terdiri dari batu pecah berukuran 15/20
sampai 25/30 yang disusun tegak . Batu pecah kecil diletakkan diatasnya untuk
menutup pori-pori yang ada sehingga permukaannya rata kemudian dikenal dengan
nama Perkerasan Telford walaupun diatasnya telah diberikan lapisan aus
dengan pengikat aspal.
Perkerasan
jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat telah ditemukan pertama
kali di Babylon pada 625 tahun S.M. Dan mulai tahun 1920 sampai sekarang
teknologi konstruksi perkerasan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat
maju pesat.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
Adapun
yang menjadi rumusan masalah antara lain :
1. Dapat
menghitung dan merencanakan perkerasan lentur dengan metode analisa komponen.
2. Mampu
menghitung volume pekerjaan
3. Mampu
menghitung Rencana Anggaran Biaya ( RAB ) dari pekerjaan tersebut.
1.3 MAKSUD
DAN TUJUAN
Maksud dari Penyusunan Tugas Teknik
Jalan raya II adalah :
1) Meningkatkan
kemampuan jalan yang direncanakan dalam melayani lalu lintas yang lewat.
2) Mendesain
struktur perkerasan jalan yang sesuai sehingga dapat meningkatkan kemampuan
jalan secara struktural dan dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan.
3) Mengetahui
jenis dan karakteristik tanah dasar pada ruas jalan eksisting.
4) Mengevaluasi
kondisi struktural dari perkerasan jalan
5) untuk
memenuhi kredit sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Universitas
Muhammadiyah Mataram Jurusan Teknik Sipil.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
PERENCANAAN
PERKERASAN JALAN DENGAN METODE BINA MARGA (ANALISA KOMPONEN)
Adapun
data yang diperlukan untuk menganalisis tebal pelapisan dengan metode ini
seperti disajikan dalam pedoman penentuan tebal perkerasan lentur jalan raya
(1983), adalah sebagai berikut :
2.1.1
Data lalu lintas
Tebal
lapisan perkerasan jalan ditentukan dari beban yang akan dipikul, berarti dari
arus lalu lintas yang hendak memakai jalan tersebut. Besarnya arus lalu lintas
dapat diperoleh dari (Sukirman,1993):
a.
Analisa lalu lintas saat ini sehingga
diperoleh data mengenai :
1.
Jumlah kendaraan yang hendak memakai
jalan
2.
Jenis kendaraan beserta jumlah tiap
jenisnya
3.
Konfigurasi sumbu dari setiap jenis
kendaraan
4.
Beban masing-masing sumbu kendaraan
b.
Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas
selama umur rencana, antara lain berdasarkan atas analisa ekonomi dan sosial
daerah tersebut.
2.1.2 Data CBR (California Bearing Ratio).
Nilai
CBR yang diperoleh kemudian dipakai untuk pembuatan perkerasan yang diperlukan
diatas lapisan yang nilai CBR-nya ditentukan kemudian dari data CBR serta
bantuan grafik maka sifat-sifat perkerasan dan daya dukung tanah dasar dapat
diketahui.
Ø Penentuan Nilai CBR tanah Dasar
Niali
CBR satu titik pengamatan;
CBR
titik = {(h1(CBR1)1/3+ …. hn(CBRn)1/3
/100 }3
CBR
segmen
Cara
analitis :
CBR
segmen = CBR rata-rata – (CBR mak – CBR min /R
2.1.3 Daya
dukung tanah (DDT).
Untuk
menentukan atau menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade), dipakai cara California Bearing
Ratio (CBR). Cara ini pertama kali dikembangakan oleh California State Highway
Departement.Berdasarkan pedoman penentuan tebal perkerasan lentur
No.01/PD/B/1983, pemeriksaan CBR dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a.
Ditentukan harga CBR terendah
b.
Ditentukan jumlah CBR yang sama dan lebih besar
masing-masing nilai CBR
c.
Jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 % sedangkan
jumlah lainnya merupakan prosentase dari 100 %
d.
Dibuat hubungan antara harga CBR dan prosentase jumlah
CBR tersebut
e.
Nilai CBR rata-rata adalah yang didapat dari angka
prosentase 90%
2.1.4 Faktor Regional (FR).
Faktor Regional adalah faktor
yang menunjukkan keadaan lingkungan suatu tempat atau daerah.Di Indonesia
perbedaan kondisi lingkungan yang dipertimbangkan meliputi (Sukirman,1993):
a.
kondisi lapangan, yaitu tingkat permeabilitas tanah,
perlengkapan drainase, kelandaian serta prosentase kendaraan berat.
b.
Kondisi iklim, yaitu intensitas hujan rata-rata per
tahun seperti
tabel 2.1
Faktor utama yang mempengaruhi
konstruksi perkerasan jalan ialah air yang berasal dari hujan dan pengaruh
perubahan temperatur.
Tabel 2.1 Faktor Regional.
Curah
Hujan (mm/th)
|
Kelandaian
I
(
< 6 % )
|
Kelandaian
II
(
6 – 10 % )
|
Kelandaian
III
(
> 10 % )
|
|||
%
Kendaraan Berat
|
%
Kendaraan Berat
|
%
Kendaraan Berat
|
||||
£ 30 %
|
> 30 %
|
£ 30 %
|
> 30 %
|
£ 30 %
|
> 30 %
|
|
Iklim I < 900
|
0.5
|
1.0 – 1.5
|
1.0
|
1.5 – 2.0
|
1.5
|
2.0 – 2.5
|
Iklim II > 900
|
1.5
|
2.0 – 2.5
|
2.0
|
2.5 – 3.0
|
2.5
|
3.0 – 3.5
|
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal perkerasan
Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983,Jakarta.
2.1.5 Indeks Permukaan (IP)
Indeks
Permukaan ini menyatakan nilai dari kehalusan/ kerataan serta kekokohan
permukaan jalan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan lalu lintas yang lewat
(Bina Marga,1983).
Dalam
menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo) perlu diperhatikan
jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur
rencana, menurut Tabel 2.2 berikut :
Tabel
2.2 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (Ipo).
Jenis Lapisan Perkerasan
|
Ipo
|
Roughness (mm/km)
|
LASTON
Asbuton
HRA
Burda
Burtu
Lapen
Latasbum
Buras
Latasir
Jalan
tanah
Jalan
kerikil
|
³ 4
3,9
– 3,5
3,9
– 3,5
3,4
– 3,0
3,9
– 3,5
3,4
– 3,0
3,9
– 3,5
3,4
– 3,0
3,4
– 3,0
2,9
– 2,5
2,9
– 2,5
2,9
– 2,5
2,9
– 2,5
£
2,4
£
2,4
|
£
1000
>
1000
£
2000
>
2000
<
2000
>
2000
£
2000
<
2000
£
3000
>
3000
|
Sumber
: Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983,
Jakarta.
Untuk menentukan
Indeks Permukaan akhir (Ipt) dari perkerasan rencana, perlu dipertimbangkan
faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana
(LER), seperti Tabel 3.3 berikut ini :
Tabel 2.3 Indeks Permukaan pada
akhir umur rencana (Ipt).
LER*)
|
Klasifikasi Jalan
|
||||
Lokal
|
Kolektor
|
Arteri
|
Tol
|
||
<
10
10
– 100
100
– 1000
>1000
|
1,0
– 1,5
1,5
1,5
– 2,0
-
|
1,5
1,5
– 2,0
2,0
2,0
– 2,5
|
1,5
– 2,0
2,0
2,0
– 2,5
2,5
|
-
-
-
2,5
|
|
Sumber
: Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit
PU,1983,Jakarta.
*) LER dalam
satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
2.1.6 Perhitungan
Angka Ekivalen
1. Angka
Ekivalen Beban Sumbu
Dalam
merencanakan suatu tebal perkerasan terlebih dahulu perlu diketahui jenis-jenis
kendaraan yang lewat pada jalur tersebut.Pengelompokan jenis kendaraan untuk
perencanaan tebal perkerasan dapat dilakukan sebagai berikut (Sukirman,1993):
a)
Mobil penumpang, termasuk didalamnya semua kendaraan
dengan berat total 2 ton Bus
b)
Truk 2 as
c)
Truk 3 as
d) Truk
5 as
e)
Semi trailer
Beban standar merupakan beban sumbu tunggal beroda ganda seberat 18.000
pon (8,16 ton)
8,16
ton
|
Tekanan Angin = 5,5 Kg/cm 2
|
Gambar 3.1.
Beban Sumbu Standar 18000 pon / 8,16 ton.
(Sukirman,1993).Bina Marga memberikan rumus untuk
menentukan angka ekivalen beban sumbu sebagai berikut :
E sumbu
tunggal = (P/8160 4……………...…………………..….(3.2)
E sumbu
ganda = (P/8160 4.0.086…..……………………..…....(3.3)
Dengan
P = beban sumbu ganda (Kg)
2. Angka Ekivalen
Kendaraan.
Angka ekivalen kendaraan
adalah angka yang menunjukan jumlah lintasan dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton yang akan menyebarkan kerusakan yang sama atau penurunan indeks permukaan
yang sama apabila kendaraan tersebut lewat satu kali.(Sukirman,1993)
Menurut
Bina Marga angka Ekivalen dapat dihitung dengan :
E truk kosong = E
sb Depan + E sb Belakang = E truk……..…....(3.4)
Tabel 2.4 Angka Ekivalen ( E ) Beban sumbu
kendaraan.
Beban
Sumbu
|
Angka
Ekivalen
|
||
Kg
|
Lb
|
Sumbu
tunggal
|
Sumbu
ganda
|
1000
|
2005
|
0.0002
|
-
|
2000
|
4409
|
0.0036
|
0.0003
|
3000
|
6614
|
0.0183
|
0.0016
|
4000
|
8818
|
0.0577
|
0.0050
|
5000
|
11023
|
0.1410
|
0.0121
|
6000
|
13228
|
0.2923
|
0.0251
|
7000
|
15432
|
0.5415
|
0.0466
|
8000
|
17637
|
0.9238
|
0.0794
|
8160
|
18000
|
1.0000
|
0.0860
|
9000
|
19841
|
1.4798
|
0.1273
|
10000
|
22046
|
2.2555
|
0.1940
|
12000
|
26455
|
4.6770
|
0.4022
|
14000
|
30864
|
8.6647
|
0.7452
|
16000
|
35276
|
14.7815
|
1.2712
|
Sumber
: Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983,
Jakarta
Angka ekivalen
yang dipergunakan dalam perencanaan adalah angka ekivalen kendaraan yang
diharapkan selama umur rencana.
2.1.7 Perhitungan
Lalu Lintas.
1.
Lalu Lintas Harian Rata-Rata.
LHR
dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (SMP) dengan mengabaikan kendaraan tak
bermotor. Angka/nilai LHR menunjukan volume lalu lintas harian kedua jurusan
dan dinyatakan dalam mobil ekivalen.
Volume
lalu lintas pada jalur yang akan direncanakan, pada tahun yang akan datang
harus diketahui terlebih dahulu, dengan memperkirakan faktor pertumbuhan lalu lintas
dapat diperkirakan dari analisa ekonomi dan sosial di daerah lokasi
proyek.Untuk menghitung volume lalu lintas harian rata rata dipergunakan rumus
sebagai berikut (Bina Marga,1983):
LHR akhir = LHR awal X (1 + i) n, (Kend/hr/2 arah)………...…...……..(3.5)
Dimana
:
LHR
akhir = Volume lalu lintas
pada awal umur rencana
LHR
awal = Volume lalu lintas
pada akhir umur rencana
I = Pertumbuhan lalu lintas
per-tahun (%)
n =
Umur rencana (tahun)
Pengaruh beban lalu lintas yang
menyebabkan terjadinya kerusakan ditentukan oleh besarnya arus lalu lintas,
yaitu jumlah kendaraan dalam 1 hari/2 arah/total lajur yang dibedakan menurut
jenis kendaraan.Dalam perhitungan perancangan perkerasan jalan, analisa lalu
lintas untuk setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang
dihitung untuk jalur 2 arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah
jalan dengan median. Analisa lalu lintas yang demikian disebut lalu lintas
harian rata-rata (LHR).Dengan mengekivalenkan berat setiap kendaraan terhadap
beban standar 18 kips, maka jumlah kendaraan yang melintasi jalur rencana
tersebut ditetapkan dalam perhitungan sebagai jumlah lintas ekivalen harian
rata-rata untuk masing-masing umur rencana.
Lintas ekivalen
dapat dibedakan atas (Sukirman,1993) :
ü Lintas
ekivalen pada saat jalan tersebut dibuka (lintas ekivalen awal umur rencana = LEP)
ü Lintas
ekivalen pada akhir umur rencana (lintas
ekivalen akhir umur rencana = LEA)
ü Lintas
ekivalen selama umur rencana (AE,18 KSAL), jumlah lintas ekivalen yang akan
melintasi jalan tersebut selama masa pelayanan, dari saat dibuka sampai akhir
umur rencana.
Langkah
–langkah untuk memperoleh lintas ekivalen, adalah sebagai berikut
(Sukirman,1993):
a.
Jumlah kendaraan ditentukan dalam 1 hari /2 arah/total
lajur yang dibedakan menurut jenis kendaraan.
b.
Berat masing-masing sumbu ditentukan berdasarkan hasil
survey timbang dari setiap jenis berat kendaraan.
c.
Angka ekivalen ditentukan dari setiap jenis kendaraan,
merupakan jumlah dari angka ekivalen dari beban sumbu depan dan belakang.
d.
Ditentukan presentase kendaraan yang berada pada lajur
dengan volume kendaraan berat terbesar. Menurut Bina Marga., jika ruas jalan
tersebut tidak memiliki batas lajur, maka jumlah dapat ditentukan dengan
berpedoman pada tabel berikut ini :
Tabel 2.5
Pedoman penentuan jumlah jalur.
Lebar perkerasan ( L )
|
Jumlah jalur (m)
|
L =
5,50 m
|
1
lajur
|
5,50
m < L < 8,25 m
|
2
lajur
|
8,25
m < L < 11,25 m
|
3
lajur
|
11,25
m < L <15,00 m
|
4
lajur
|
15,00
m < L <18,75 m
|
5
lajur
|
18,75
m < L < 22,00 m
|
6
lajur
|
Sumber : Silvia Sukirman,1995.
Prosentase kendaraan pada lajur
rencana dapat ditentukan dengan menggunakan koefisien distribusi kendaraan (C)
yang diberikan pada tabel 2.6
Tabel 2.6 Koefisien distribusi
ke lajur rencana.
Jumlah
lajur
|
Kendaraan
ringan *
|
Kendaraan
berat **
|
||
1
arah
|
2
arah
|
1
arah
|
2
arah
|
|
1 lajur
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
2 lajur
|
0.60
|
0.50
|
0.70
|
0.50
|
3 lajur
|
0.40
|
0.40
|
0.50
|
0.475
|
4 lajur
|
|
0.30
|
|
0.45
|
5 lajur
|
|
0.25
|
|
0.425
|
6 lajur
|
|
0.20
|
|
0.40
|
Keterangan : * berat total < 5 ton, misalnya sedan, pick
up
** berat total > 5 ton, misalnya bus, truk,
traktor, dan lain lain
Sumber : Silvia Sukirman,1993.
Prosentase kendaraan pada lajur
rencana dapat pula diperoleh dari survey volume lalu lintas. Khususnya untuk
jalan tol dimana umumnya sebagian besar dari kendaraan memakai lajur kiri
sedangkan lajur kanan dipergunakan hanya untuk menyiap/ mendahului, maka
prosentase seperti yang diberikan pada tabel 2.6 tidaklah dapat dipergunakan.
a.
Faktor pertumbuhan lalu lintas yang diperoleh dari hasil
analisa data lalu lintas, perkembangan penduduk, pendapatan perkapita,
rancangan induk daerah dan lain lain.
b.
Lintas ekivalen pada saat jalan tersebut di buka (LEP)
2. Lintas
Ekivalen Permulaan (LEP).
Lintas ekivalen permulaan adalah
jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton
(18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada awal umur rencana.
Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983) :
LEP = å LHR x C x E..…………………………………………………..(3.6)
Dimana
:
LHR = Lalu lintas harian rata-rata
C = Koefisien distribusi kendaraan
E = Angka ekivalen masing masing kendaraan
3. Lintas Ekivalen Akhir (LEA).
Lintas ekivalen akhir adalah
jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton
(18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana.
Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983):
LEA =
å(1
+i) UR x C x E …………………………………………..(3.7)
UR = Umur rencana
i. = Pertumbuhan lalu lintas
4. Lintas Ekivalen Tengah (LET).
Lintas ekivalen tengah
adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton
(18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur
rencana. Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983) :
LET = å(LEP
+ LEA) ……………………………………….…………..(3.8)
2
5.
Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Lintas
ekivalen rencana adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal
seberat 8,16 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada
pertengahan umur rencana. Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983) :
LER = LET X
FP……………….. ……………..….……………………..(3.9)
Dimana :
FP = Faktor
penyesuaian ditentukan
FP =
UR / 10
UR = Umur Rencana
2.1.8 Indeks
Tebal Perkerasan Perlu ( ITP perlu).
Diperhitungkan
berdasarkan data daya dukung tanah, factor regional, dan indeks permukaan pada
awal umur rencana, untuk indeks permukaan pada awal umur rencana dapat dilihat
pada table.
2.5.9 Indeks
Tebal Perkerasan ada ( ITP ada).
Merupakan suatu penilaian terhadap
kondisi lapisan-lapisan perkerasan yang ada berdasarkan penyelidikan di Laboratorium hasil dari tes pit.Dari
data tersebut diatas maka perhitungan tebal pelapisan tambahan ( overlay ) dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut (Bina Marga,1983):
ITP sisa =
ITP perlu – ITP ada …………………...…………………….... (3.10)
Dengan =
ITP sisa = Indeks Tebal Perkerasan Akhir
ITP perlu = Indeks Tebal Perkerasan
ITP ada = Indeks Tebal Perkerasan Ada
Tabel
2.8 Koefisien kekuatan relatif perkerasan jalan lama.
Koef Kekuatan Relatif
|
Kekuatan Bahan
|
Jenis Bahan
|
||||
|
MS
(kg)
|
KT
(kg/cm2)
|
CBR
( % )
|
|||
a1
|
a2
|
a3
|
||||
0.40
0.35
0.32
0.30
0.35
0.31
0.28
0.26
0.30
0.26
0.25
0.20
|
0.28
0.26
0.24
0.23
0.19
0.15
0.13
0.15
0.13
0.14
0.12
0.14
0.13
0.12
|
0.13
0.12
0.11
0.10
|
744
590
454
340
744
590
454
340
340
340
590
454
340
|
22
18
22
18
|
100
60
100
80
60
70
50
30
20
|
LASTON
Asbuton
Hot Rolled Sheet
Aspal Macadam
LAPEN ( Mekanis )
LAPEN ( Manual )
LASTON ATAS
LAPEN (Mekanis)
LAPEN (Manual)
Stab. Tanah dengan Semen
Stab. Tanah dengan Kapur
Pon. Macadam (Basah)
Pon. Macadam (Kering)
Batu Pecah (Kelas A)
Batu Pecah (Kelas B)
Batu Pecah (Kelas C)
Sirtu/Pitrun (Kelas A)
Sirtu/Pitrun (Kelas B)
Sirtu/Pitrun (Kelas C)
Tanah/Lempung Kepasiran
|
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal
perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983, Jakarta.
Curah
Hujan
|
Kelandaian I
|
Kelandaian II
|
Kelandaian III
|
|||
(< 6 %)
|
(6 – 10 %)
|
(> 10 %)
|
||||
% kendaraan berat
|
% kendaraan berat
|
% kendaraan berat
|
||||
£ 30 %
|
> 30 %
|
£ 30 %
|
> 30 %
|
£ 30 %
|
> 30 %
|
|
Iklim I
|
0,5
|
1,0 – 1,5
|
1,0
|
1,5 – 2,0
|
1,5
|
2,0 – 2,5
|
< 900 mm/th
|
||||||
Iklim II
|
1,5
|
2,0 – 2,5
|
2,0
|
2,5 – 3,0
|
2,5
|
3,0 – 3,5
|
> 900 mm/th
|
Istilah-istilah desain Tebal perkerasan beton aspal cara bina marga ‘87
Jalur rencana
|
:
|
Salah satu jalur lalu-lintas dari suatu sistim jalan raya yang
menampung lalu-lintas tersebut.
|
|
|
|
Umur rencana
(ur)
|
:
|
Jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka
untuk lalu-lintas sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu
untuk diberi lapis permukaan yang baru
|
|
|
|
Indeks permukaan
(ip)
|
:
|
Suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan kerataan/ kehalusan
serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi
lalu-lintas yang lewat
|
|
|
|
Lalu-lintas harian rata-rata (lhr)
|
:
|
Jumlah rata-rata lalu-lintas kendaraan bermotor roda 4 atau lebih yang dicatat
selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan
|
|
|
|
Angka ekivalen (e)
|
:
|
Angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan
oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan
yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal 8,16 ton
(18000 lb).
|
|
|
|
Lintas ekivalen
permulaan (lep)
|
:
|
Jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada permulaan umur rencana
|
|
|
|
Lintas ekivalen akhir
(lea)
|
:
|
Jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana
|
|
|
|
Lintas ekivalen tengah
(let)
|
:
|
Jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana
|
|
|
|
Lintas ekivalen rencana
(ler)
|
:
|
Suatu besaran yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan
untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada
lajur rencana.
|
Lapis permukaan
|
:
|
Bagian perkerasan yang paling atas
|
|
|
|
Daya dukung tanah dasar
(ddt)
|
:
|
Suatu skala yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan
untuk menyatakan kekuatan tanah dasar
|
|
|
|
faktor regional (fr)
|
:
|
Faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat
mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan
|
|
|
|
indeks tebal perkerasan
(itp)
|
:
|
Suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan
|
BAGAN
ALIR DESAIN TEBAL PERKERASAN BETON ASPAL
CARA BINA MARGA ‘87
Kekuatan tanah dasar
Faktor Regional (FR)
n Intensitas
curah hujan
n
n %
kendaraan berat
n Pertimbangan
teknis
LER
pada lajur rencana
Pentahapannya
Indeks permukaan
Jenis
lapisan
perkerasan
|
MULAI Input parameter
bertahap
?
ya tidak
Tentukan ITPt Tentukan ITP Tentukan ITP1&2
dan Tahap II
koefisien koefisien SELESAI |
|
|
INDEK
TEBAL PERKERASAN ( ITP )
D1
D2
D3
|
surface
base
subbase
subgrade
|
ITP diatas subgrade = a1 D1 + a2
D2 + a3 D3
ITP diatas subbase = a1 D1 + a2 D2
ITP diatas base = a1 D1
bila, Di < D minimum maka, Di = D minimum
2.2 AGREGAT
2.2.1 Pengertian Agregat Dalam Kontruksi
Perkerasan Jalan.
l
Menurut
Silvia Sukirman, (2003), agregat merupakan butir-butir batu pecah, kerikil,
pasir atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang
berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen.
l
Agregat
merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu yaitu 90 – 95%
agregat berdasarkan persentase berat, atau 75 –85% agregat berdasarkan
persentase volume.
Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga
dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.
2.2.2 Sifat
Agregat
l
Sifat
agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan jalan memikul
beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca.
l
Sifat
agregat yang menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan adalah:
l
gradasi,
l
kebersihan,
l
kekerasan
l
ketahanan
agregat,
l
bentuk butir,
l
tekstur
permukaan,
l
porositas,
l
kemampuan untuk menyerap air,
l
berat jenis, dan
l
daya
kelekatan terhadap aspal.
l
Sifat
agregat tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis batuannya.
2.2.3 Klasifikasi
Bentuk dan Tekstur Agregat
Karakteristik
bagian luar agregat, terutama bentuk partikel dan tekstur permukaan memegang
peranan penting terhadap sifat beton segar dan yang sudah mengeras.
Menurut BS 812 : Part 1:
1975, bentuk partikel agregat dapat dibedakan atas:
Ø Rounded
Ø Irregular
Ø Flaky
Ø Angular
Ø Elongated
Ø Flaky
& Elongated
Rounded Irregular Angular Flaky Elongated Flaky and
Elongated
|
2.2.4 Jenis Agregat Menurut Asal
Kejadiannya
• Batuan Beku (igneous rock)
Batuan yang
berasal dari magma yang mendingin dan membeku. Dibedakan atas batuan beku luar
(extrusive igneous rock) dan batuan beku dalam (intrusive igneous rock).
• Batuan Sedimen
Berasal dari
campuran partikel mineral, sisa hewan dan tanaman. Pada umumnya merupakan
lapisan-lapisan pada kulit bumi, hasil endapan di danau, laut dan sebagainya.
• Batuan Metamorfik
Berasal dari
batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk
akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur dari kulit bumi.
2.2.5 Jenis Agregat berdasarkan proses
pengolahannya :
• Agregat Alam
Agregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya di
alam atau dengan sedikit proses pengolahan. Agregat ini terbentuk melalui
proses erosi dan degradasi. Bentuk partikel dari agregat alam ditentukan proses
pembentukannya.
• Agregat melalui proses pengolahan
Digunung-gunung
atau dibukit-bukit, dan sungai-sungai sering ditemui agregat yang masih
berbentuk batu gunung, dan ukuran yang besar-besar sehingga diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum
dapat digunakan sebagai agregat konstruksi jalan.
• Agregat Buatan
Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi
(partikel dengan ukuran < 0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan
pabrik-pabrik semen atau mesin pemecah batu.
2.2.6 Pembagian
Agregat Berdasarkan Ukuran Butiran Menurut The Asphalt Institut, (1993), dalam
Manual Series No. 2 (MS-2)
• Agregat Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih
besar dari saringan No. 8 (2,36 mm)
• Agregat Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih
halus dari saringan No.8 (2,36 mm).
• Bahan Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat
halus yang minimum 75% lolos saringan no. 30 (0,06 mm)
2.2.7 Klasifikasi
Agregat
Berdasarkan ASTM C-33, agregat
dibagi atas dua kelompok, yaitu:
1.
Agregat
Kasar : Batas bawah pada ukuran 4.75 mm atau ukuran
saringan no.4 (ASTM)
2.
Agregat
Halus : Batas bawah ukuran pasir = 0.075 mm (no. 200) Batas
atas ukuran pasir = 4.75 mm (no. 4)
Persyaratan Agregat Kasar :
Pengujian
|
Standar
|
Nilai
|
Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium
dan magnesium
|
SNI 03-3407-1994
|
Maks 12 %
|
Abrasi dengan mesin Los Angeles
|
SNI 03-2417-1991
|
Maks 40 %
|
Kelekatan agregat terhadap aspal
|
SNI 03-2439-1991
|
Min 95 %
|
Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10 cm )
|
DoT’s Pennsylvania Test Method, PTM No. 621
|
95/90
|
Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ 10 cm )
|
80/75
|
|
Partikel pipih
|
ASTM D-4791
|
Maks 25 %
|
Partikel lonjong
|
ASTM D-4791
|
Maks 10 %
|
Material lolos saringan no. 200
|
SNI 03-4142-1996
|
Maks 1 %
|
Aggregate Impact Value (AIV)
|
BS 812:part 3:1975
|
Maks 30%
|
Berat Jenis dan Penyerapan
|
SNI 03-1969-1990
|
Maks 3%
|
Persyaratan Agregat Halus
Pengujian
|
Standar
|
Nilai
|
Material mengandung bahan plastis dengan cara
setara pasir
|
SNI 03-4428-1997
|
Maks 8%
|
Berat jenis agregat halus
|
SNI 03-1970-1990
|
Maks 2,5%
|
Penyerapan
|
Maks 3%
|
|
Material lolos saringan No.200
|
SNI 03-4428-1997
|
Maks 8%
|
Persyaratan Bahan pengisi ( filler )
Pengujian
|
Standar
|
Nilai
|
Lolos saringan N0.200
|
SNI 03 M-02-1994-03
|
Min 75%
|
Bebas dari bahan organik
|
Maks 4%
|
2.2.8 Pembagian
Agregat Berdasarkan Ukuran Butiran Menurut Sedangkan Bina Marga, (2002)
•
Agregat
Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan No. 4
(4,75 mm)
•
Agregat
Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih halus dari saringan No.4
(4,75 mm).
•
Bahan
Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos
saringan no. 200 (0,075 mm)
2.2.9 Gradasi
Agregat
•
Gradasi agregat adalah susunan dari
beberapa ukuran butiran agregat yang membentuk suatu campuran agregat yang
terdiri dari beberapa fraksi agregat
Jenis
Gradasi
1.
Gradasi
Baik
2.
Gradasi
buruk
• Gradasi
baik, adalah campuran agregat dengan
ukuran butiran yang terdistribusi merata dalam rentang ukuran butiran.
• Agregat
bergradasi baik disebut juga dengan agergat bergradasi rapat.
• Agregat bergardasi baik dapat dikelompokkan menjadi :
1.
Agregat bergradasi kasar, adalah agregat
bergradasi baik yang didominasi oleh agregat ukuran butiran kasar
2.
Agregat bergradasi halus, adalah agregat
bergradasi baik yang dinominasi oleh agregat ukuran butiran halus.
• Gradasi
Buruk, adalah distrubusi ukuran agregat yang tidak memenuhi persyaratan agregat
bergradasi baik.
• Agregat
bergradasi buruk dapat dikelompokkan
menjadi;
• Gradasi Seragam, adalah campuran agregat yang tersusun
dari agregat dengan ukuran butirannya sama atau hampir sama.
• Gradasi Terbuka, adalah campuran agregat dengan
distribusi ukuran butiran sedemikian rupa sehingga pori-pori antar agregat tidak terisi dengan baik.
• Gradasi Senjang, adalah campuran agregat yang ukuran
butirannya terdistribusi tidak menerus, atau ada bagian yang hilang.
Ø
Grafik
Gradasi Menerus
Ø Gradasi Menerus
2.2.10
Metodeh
Pencampuran Agregat
1.
Metoda
Matematis/Matriks
2.
Metoda Grafis
Segi Empat
3.
Metoda Grafis
Segi Tiga
Catatan Metodeh
Matriks
•
Cara matriks ini tidak selalu membuahkan
hasil yang diharapkan. Misalnya didapat harga B = - 24% (negatif).
•
Bila hal tersebut terjadi, ulangi
perhitungan dengan membuat sub kelompok bagian gradasi yang berlainan.
•
Ulangi cara perhitungan sampai semua
hasilnya memuaskan (tidak ada persentasi hasil yang negatif).
2.3 PARAMETER
PERENCANAAN LAPISAN KONSTRUKSI JALAN
2.3.1 Faktor-faktor yang
mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi jalan
• Fungsi dan kelas
jalan
• Kinerja
Perkerasan
• Umur Rencana
• Beban Lalu
lintas
• Sifat dan daya
dukung Tanah dasar
• Kondisi
Lingkungan
• Sifat dan
ketersediaan bahan konstruksi jalan
• Bentuk geometrik
jalan
2.3.2 Kinerja Perkerasan jalan
• Keamanan,
ditentukan berdasarkan gesekan akibat adanya kontak antara ban dan permukaan
jalan
• Wujud Perkerasan
• Fungsi pelayanan
Wujud perkerasan dan fungsi
pelayanan umumnya satu kesatuan yag digambarkan dengan “Kenyamanan mengemudi
(riding quality)”
Kinerja perkerasan
dapat dinyatakan dengan :
Ø Indeks
permukaan / serviceability index
Indeks Permukaan (IP)
|
Fungsi Pelayanan
|
4 -5
3 – 4
2 -3
1 – 2
0 -1
|
Sangat
baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat
|
Ø Indeks
kondisi jalan / road condition index
RCI
|
Kondisi permukaan jalan secara visuil
|
8 – 10
7 – 8
6 – 7
5 – 6
4 – 5
3 – 4
2 – 3
≤2
|
Sangat rata dan teratur
Sangat baik, umumnya rata
Baik
Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang, tetapi
permukaan jalan tidak rata
Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak
rata
Rusak, bergelombang, banyak lubang
Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah
perkerasan hancur
Tidak dapat dilalui, kecuali dengan 4 WD jeep
|
2.3.3 Tingkat
kenyamanan ditentukan berdasarkan anggapan ;
• Jalan disediakan
untk memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan
• Kenyamanan
sebenarnya merupakan faktor subjektif
• Kenyamanan
berkaitan dengan bentuk fisik perkerasan yang dapat diukur secara objektif
• Wujud perkerasan
juga dapat dapat diperolehdarisejarah perkerasan jalan
• Pelayanan
jalan dapat dinyatakan sebagai nilai rata-rata yang diberikan oleh sipemakai
jalan.
Ø Kondisi
Lingkungan dan pengaruhnya terhadap konstruksi perkerasan jalan
1.
Mempengaruhi sifat teknis konstruksi
perkerasan dan komponen material perkerasan
2.
Pelapukan bahan meterial
3.
Mempengaruhi penurunan tingkat pelayanan
dan tingkat penyamanan perkerasan jalan.
Ø Faktor Lingkungan Yang mempengaruhi
1.
Air Tanah dan hujan, adanya aliran air
disekitar badan jalan mengakibatkan perembesan air ke badan jalan yang
mengakibatkan perlemahan ikatan antar butiran agregat dengan aspal, dan
perubahan kadar air akan mempengaruhi daya dukung tanah dasar.
2.
Kemiringan medan, untuk mempercepat
pengaliran air.
3.
Perubahan temperatur, bahan aspal adalah
meterial termo plastis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 JENIS, FUNGSI DAN
LAPISAN PERKERASAN JALAN
Perkerasan
jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk
melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah,
batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat
yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat atau suatu lapisan tambahan yang diletakkan diatas jalur
“jalan tanah” dimana lapisan tambahan tersebut terdiri dari bahan material yang
lebih keras/kaku dari tanah dasarnya, dengan tujuan agar jalan tersebut dapat
dilalui oleh kendaraan berat dalam segala cuaca
Perkerasan
jalan beton aspal (Asphalt Pavement), yaitu perkerasan jalan
yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
Perkerasan Beton Aspal =
Perkerasan Lentur(Flexible
Pavement).
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi
perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
a)
Konstruksi perkerasan lentur (Flexible
Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya.
Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas
ke tanah dasar.
b)
Konstruksi perkerasan kaku (Rigit
Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai
bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas
tanah dasat dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian
besar dipikul oleh pelat beton.
c)
Konstruksi perkerasan komposit
(Composite Pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan
perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau
perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.
Konsep Dasar Perkerasan Jalan
1.
Mempunyai
tebal total yang cukup.
2.
Mampu
mencegah masuknya air, baik dari luar maupun dari dalam.
3.
Mempunyai permukaan yang rata, tidak
licin, awet terhadap distorsi oleh lalu-lintas dan cuaca.
Konsep Dasar Desain lapisan Perkerasan Jalan
1.
Memperbaiki / meningkatkan harga CBR
dari subbase ataupun base course, dengan bahan yang lebih baik.
2.
Meng-improve (memperbaiki mutu) lapis
tanah dasar dengan cara :
- Stabilisasi kimia
- Stabilisasi mekanis
- Menimbun tanah dasar asli dengan bahan tanah timbunan
yang lebih baik (CBR yang lebih tinggi).
3.
Mempertebal lapisan subbase maupun base
course.
Jenis Perkerasan
Jalan
4.
Perkerasan
Lentur
a.
Perkerasan JAPAT/AWCAS
b.
Perkerasan Tellford
c.
Perkerasan Macadam (Makadam)
d.
Perkerasan Beton Aspal
e.
Perkerasan Paving Block
5.
Perkerasan
kaku
•
Perkerasan
Beton Semen
•
Perkerasan
Komposit (perkerasan beton semen dan
permukaan aspal)
3.
Perkerasan
Komposit
3.1.1
Perbandingan Perkerasan Beton Aspal & Beton Semen
a.
Perkerasan Beton Aspal
•
Bila
dibebani melentur ; beban hilang, lenturan kembali.
•
Fungsi
perkerasan terutama sebagai penyebar tegangan dari roda kendaraan langsung ke
tanah dasar.
•
Biaya
perkerasan relatif lebih murah.
•
Pemeliharaan harus teratur dan kontinyu
berkala ; biaya pemeliharaan relatif lebih mahal.
•
Bahan aspal dan material lapis pondasi
akan mudah rusak bila jalan tergenang air (banjir).
•
Lapisan perkerasan dapat menerima
perbedaan penurunan (differential settlement) yang agak besar dari tanah dasar.
b.
Perkerasan Beton
Semen
1.
Bila
dibebani, praktis tidak melentur (lenturan kecil)
2.
Fungsi
perkerasan terutama untuk mendukung sebagian besar beban roda kendaraan.
3.
Biaya perkerasan relatif mahal.
4.
Pemeliharaan minimal dan biaya pemeliharaan
relatif murah.
5.
Bahan beton perkerasan tidak begitu
terpengaruh oleh adanya genangan air (banjir).
6.
Lapisan
perkerasan tidak dapat menerima perbedaan penurunan yang agak besar dari tanah
dasar. Sebaiknya,
problema penurunan tanah dasar harus telah diselesaikan dahulu.
3.1.2 Sistem
Perencanaan Jalan
Perencanaan
Konstruksi Perkerasan dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru dan
untuk peningkatan / lapis perkerasan tambahan ( Overlay ). Dalam penelitian ini
perencanaan jalan baru dan lapis perkerasan tambahan ( overlay ). Dihitung
dengan menggunakan metodeh Analisa komponen atau cara Bina Marga.
1.
Perencanaan jalan Baru
Pada
Sistem Perencanaan jalan Baru, perhitungan tebal perkerasan dilakukan secara
ekonomis tetapi harus tetap dapat memenuhi nilai kekuatan structural yang
dibutuhkan oleh jalan tersebut, harus dapat mengantisipasi perkembangan lalu
lintas dan ramah lingkungan. Diindonesia perhitungan perencanaan jalan
baru dapat menggunakan metodeh Bina Marga,
Karena sesuai dengan Kondisi diindonesia yaitu untuk keadaan alam,
lingkungkungan, sipat tanah dasar dan jenis perkerasan yang umumnya di Pakai di
Indonesia.
2.
Perencanaan Lapis Perkerasan Tambahan (
Overlay )
Pada
Konstruksi jalan yang telah habis masa pelayanannya dan telah melampaui indeks
permukaan akhiir yang diharapkan, maka perlu diberikan lapis perkerasan
tambahan untuk dapat kembali mempunyai nilai kekuatan Struktural. Selain itu
untuk meningkatkan tingkat keamanan mpermeable / kedap air dan tingkat
kenyamanan. Sama halnya dengan perencanaan jalan baru, pada penelitian ini
perhitungan tebal perkerasan tambahan menggunakan metodeh Bina Marga yaitu
metodeh analisa Komponen (SKBI 2.3.26.1987 )
3.2
STRUKTUR
PERKERASAN
Pada
umumnya, perkerasan jalan terdiri dari beberapa jenis lapisan perkerasan yang
tersusun dari bawah ke atas,sebagai berikut :
1.
Lapisan tanah dasar (sub grade)
2.
Lapisan pondasi bawah (subbase course)
3.
Lapisan pondasi atas (base course)
4.
Lapisan permukaan / penutup (surface
course)
Gambar
3.5 Perkerasan jalan
Keterangan
1. Lapisan
Permukaan (surface course)
2. Lapisan
Pondasi Atas ( Base Course )
3. Lapisan
Pondasi Bawah (sub base course)
4. Tanah
Dasar ( Subgrade )
Terdapat beberapa jenis / tipe perkerasan terdiri :
1.
Flexible pavement
(perkerasan lentur).
2.
Rigid pavement
(perkerasan kaku).
3.
Composite pavement
(gabungan rigid dan flexible pavement).
3.2.1
Perkerasan
Lentur
Konstruksi
perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang menggunakan aspal
sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan
menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu sendiri adalah material
berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang berbentuk padat sampai
agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu, aspal dapat
menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu
pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan
mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).
Sifat
aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh sehingga
daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini dapat
diatasi / dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan
langkah-langkah yang baik dalam proses pelaksanaan.Konstruksi perkerasan lentur
terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah
dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk
menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada
dibawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari
beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung
tanah dasar.
Jenis dan fungsi lapisan
perkerasan
Lapisan
perkerasan jalan berfungsi untuk menerima beban lalu-lintas dan menyebarkannya
ke lapisan di bawahnya terus ke tanah dasar.
1. Lapisan
Tanah Dasar (Subgrade)
Lapisan tanah dasar adalah lapisan
tanah yang berfungsi sebagai tempat perletakan lapis perkerasan dan mendukung
konstruksi perkerasan jalan diatasnya. Menurut Spesifikasi, tanah dasar adalah
lapisan paling atas dari timbunan badan jalan setebal 30 cm, yang mempunyai
persyaratan tertentu sesuai fungsinya, yaitu yang berkenaan dengan kepadatan
dan daya dukungnya (CBR).Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang
dipadatkan jika tanah aslinya baik, atau tanah urugan yang didatangkan dari
tempat lain atau tanah yang distabilisasi dan lain lain.
Kekuatan
dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan
daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR)
sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan Modulus resilien
(MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai
tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR (Heukelom &
Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained
soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.MR (psi) = 1.500 x CBR
Persoalan tanah dasar yang sering ditemui :
1. Perubahan
bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat
beban lalu-lintas.
2. Sifat
mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
3. Daya
dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan
jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan
konstruksi.
4. Lendutan
dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis tanah
tertentu.
5. Tambahan
pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkannya,
yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik
pada saat pelaksanaan konstruksi.
Ditinjau
dari muka tanah asli, maka lapisan tanah dasar dibedakan atas :
Ø Lapisan
tanah dasar, tanah galian.
Ø Lapisan
tanah dasar, tanah urugan.
Ø Lapisan
tanah dasar, tanah asli.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan
sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.Umumnya
persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat
beban lalu lintas.
• Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
• Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat tanah pada lokasi yang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan misalnya kepadatan yang kurang baik.
• Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
• Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat tanah pada lokasi yang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan misalnya kepadatan yang kurang baik.
2. Lapisan
Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang
terletak di atas lapisan tanah dasar dan di bawah lapis pondasi atas.atau
bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan
lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular
material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang
distabilisasi.
Fungsi dari lapisan Pondasi Bawah antara lain yaitu
:
a.
Bagian dari konstruksi perkerasan untuk
menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
b.
Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul
di pondasi.
c.
Lapisan untuk mencegah partikel-partikel
halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.
d.
Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari
beban roda-roda alat berat (akibat lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal-awal
pelaksanaan pekerjaan.
e.
Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari
pengaruh cuaca terutama hujan.
f.
Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif
murah agar lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan
biaya konstruksi).
g.
Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
h.
Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi
berjalan lancar.
Lapis
pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah
dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi)
atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari
pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%)
yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi
bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland, dalam
beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan yang efektif terhadap
kestabilan konstruksi perkerasan.
3. Lapisan
pondasi atas (base course)
Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang
terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan atau bagian dari
struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan.
Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan
lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar.
ü Lapisan
pondasi atas ini berfungsi sebagai :Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang
dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
ü Bantalan
terhadap lapisan permukaan.Bahan-bahan untuk lapis pondasi atas ini harus cukup
kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda.Dalam penentuan bahan
lapis pondasi ini perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain, kecukupan
bahan setempat, harga, volume pekerjaan dan jarak angkut bahan ke lapangan.
ü Sebagai bagian
konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.
ü Sebagai
perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat
menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan
sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan
sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan
alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis
pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan
semen, aspal, pozzolan, atau kapur.
4. Lapisan
Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan adalah lapisan yang bersentuhan
langsung dengan beban roda kendaraan. Lapis permukaan
struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan
pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di
atas lapisasan pondasi Atas (base course).Lapisan permukaan ini berfungsi
sebagai :
a. Lapisan
yang langsung menahan akibat beban roda kendaraan.
b. Sebagai
lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.
c. Sebagai
lapisan aus (wearing course)
d. Lapisan
yang langsung menahan gesekan akibat rem kendaraan (lapis aus).
e. Lapisan
yang mencegah air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan bawahnya
dan melemahkan lapisan tersebut.
f. Lapisan
yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan di
bawahnya.Apabila dperlukan, dapat juga dipasang suatu lapis penutup / lapis aus
(wearing course) di atas lapis permukaan tersebut.
Fungsi lapis aus ini adalah sebagai lapisan pelindung bagi lapis permukaan untuk mencegah masuknya air dan untuk memberikankekesatan (skid resistance) permukaan jalan. lapisan aus tidak diperhitungkan ikut memikul beban lalu lintas. Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
Fungsi lapis aus ini adalah sebagai lapisan pelindung bagi lapis permukaan untuk mencegah masuknya air dan untuk memberikankekesatan (skid resistance) permukaan jalan. lapisan aus tidak diperhitungkan ikut memikul beban lalu lintas. Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
3.2.1.1 Kriteria Perkerasan Lentur
Guna dapat memberikan rasa
aman,nyaman,lancar, efesien, ramah lingkungan serta ekonomis si pemakai jalan (
Sukirman, 1999 ), maka konstruksi perkerasan haruslah memenuhi syarat – syarat
tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu syarat – syarat
berlalu lintas dan syarat – syarat kekuatan Struktural.
1. Syarat
– Syarat Berlalu Lintas
Konstruksi Perkerasan
Lentur dipandang dari keamanan dan kenyamanan berlalu lintas haruslah memenuhi
syarat – syarat sebagai berikut :
a. Permukaan
yang rata tidak bergelombang, tidak melandut dan tidak berlubang
b. Permukaan
cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban yang bekerja
diatasnya.
c. Permukaan
cukup kasat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan permukaan jalan sehingga
tidak mudah lesip
d. Permukaan
tidak mengkilap tidak silau jika kena sinar matahari.
2. Syarat
– syarat Kekuatan Struktural
Konstruksi perkerasan
jalan dipandang dari segi kemampuan memikul dan menyebarkan beban, haruslah
memenuhi syarat – syarat :
a. Ketebalan
yang cukup Sehinga Mampu Menyebarkan Beban atau muatan dan lintas ketanah
dasar.
b. Kedap
terhadap air Sehingga air tidak mudah meresap kelapisan bawahnya
c. Kekakuan
untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi yang berarti.
Untuk
dapat memenuhi hal – hal tersebut diatas perencanaan dan pelaksanaan Konstruksi
perkerasan lentur jalan haruslah mencangkup:
4.
Daya Dukung Tanah Dasar
Dengan
Memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu lintas yang akan dipikulnya,
keadaan lingkungan, jenis lapisan yang dipilih, dapat ditentukan tebal masing –
masing lapisan berdasarkan lapisan yang ada.
5.
Analisa Campuran Bahan
Dengan
memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat yang tersedia, Direncanakan suatu
susunan campuran tertentu sehingga terpenuhi spesipikasi dari jenis lapisan
yang dipilih.
6.
Pengawasan Pelaksanaan Pekerjaan
Perencanaan
tebal perkerasan yang baik, susunan campuran yang memenuhi syarat, belum dapat
menjamin dihasilkannya lapisan perkerasan yang memenuhi apa yang diinginkan
jika tidak dilakukan pengawasan pelaksanaan yang cermat mulai dari tahap
penyiapan lokasi dan material sampai tahap pencampuran atau penghamparan dan
akhirnya pada tahap pemadatan dan pemeliharaan.
Disamping
itu Sistem pemeliharaan yang terencana dan tepat selama umur pelayanan,
termasuk didalamnya system drainase jalan tersebut.
3.2.1.2
Sifat
Perkerasan Lentur Jalan
Aspal yang dipergunakan pada konstruksi
perkerasan jalan berfungsi sebagai:
a.
Bahan pengikat, memberikan ikatan
yang kuat antara aspal dengan agregat dan antara aspal itu sendiri.
b.
Bahan pengisi, mengisi rongga
antara butir-butir agregat dan pori-pori yang ada dari agregat itu sendiri.
Dengan
demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh) terhadap
cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat elastis yang
baik.
a.
Daya tahan (durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal
mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan.
Sifat ini merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat,
campuran dengan aspal, faktor pelaksanaan dan sebagainya.
b.
Adhesi dan Kohesi
Adhesi adalah kemampuan aspal untuk
mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan
aspal. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap
ditempatnya setelah terjadi pengikatan.
c.
Kepekaan terhadap temperature
Aspal adalah material yang termoplastis,
berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan
lunak atau lebih cair jika temperature bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan
terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil
produksi aspal berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut
mempunyai jenis yang sama.
d.
Kekerasan aspal
Aspal pada proses pencampuran dipanaskan
dan dicampur dengan agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas
disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses peleburan.
Pada waktu proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi
getas (viskositas bertambah tinggi). Peristiwa perapuhan terus berlangsung
setelah masa pelaksanaan selesai. Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami
oksidasi dan polimerisasi yang besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal
yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat
kerapuhan yang terjadi.
3.2.1.3
Penyebab
Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan
Kerusakan pada konstruksi perkerasan
lentur dapat disebabkan oleh:
a. Lalu
lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.
b. Air,
yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik dan
naiknya air akibat kapilaritas.
c. Material
konstruksi perkerasan. Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat material itu
sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan bahan yang tidak
baik.
d. Iklim,
Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi,
yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan.
e. Kondisi
tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh system pelaksanaan
yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah dasarnya yang
memang kurang bagus.
f. Proses
pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.
Umumnya
kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja,
tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling berkaitan. Sebagai contoh,
retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari
samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke
lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dengan agregat, hal ini
dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan melemahkan daya dukung lapisan
dibawahnya.
3.2.1.4 Jenis
Kerusakan Perkerasan Lentur
Lapisan perkerasan
sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana.
Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari kondisi kerusakan fungsional dan
struktural. Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural
terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur
perkerasan jalan.Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat
atau tingkat kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan
oleh lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan
permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar.
1.
Jenis
Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga
Jenis Kerusakan
Perkerasan Lentur dapat dibedakan atas:
a.
Retak (cracking)
b.
Distorsi (distortion)
c.
Cacat permukaan (disintegration)
d.
Pengausan ( polished aggegate)
e.
Kegemukan (bleeding / flushing)
f.
Penurunan pada bekas penanaman utilitas
a.
Retak
(Cracking) dan penanganannya
Retak yang terjadi pada
lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas :
1. Retak
halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama
dengan 3 mm, penyebab adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar
atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak halus ini
dapat meresapkan air ke dalam permukaan dan dapat menimbulkan kerusakan yang
lebih parah seperti retak kulit buaya bahkan kerusakan seperti lubang dan
amblas. Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang, dimana retak memanjang
terjadi pada arah sejajar dengan sumbu jalan, biasanya pada jalur roda
kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau pelebaran, sedangkan untuk retak
melintang terjadi pada arah memotong sumbu jalan, dapat terjadi pada sebagian
atau seluruh lebar jalan.
Metode
pemeliharaan dan penanganan :
a. Untuk
retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan renggang, dilakukan metode
perbaikan P2 (laburan aspal setempat).
b. Untuk
retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan rapat, dilakukan
metode
perbaikan P3 (penutupan retak).
c. Untuk
lebar retakan (> 2 mm) lakukan perbaikan P4 (pengisian retak).
Selanjutnya
untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada
gaambar dibawah ini.
Gambar 3.6 Retak Halus
2. Retak
kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm.
Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit
buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan
permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapisan permukaan kurang
stabil, atau bahan pelapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah naik).
Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana
terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban
lalu lintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan
tersebut. Retak kulit buaya dapat diresapi oleh air sehingga lama kelamaan akan
menimbulkan lubang-lubang akibat terlepasnya butir-butir. Untuk retak kulit
buaya dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat) dan P5 (penambalan
lubang/patching) sesuai dengan tingkat kerusakan retak yang terjadi. Urutan
pelaksanaan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.Perbaikan
juga harus disertai dengan perbaikan drainase disekitarnya, sehingga nantinya
air tidak tergenang di badan jalan yang dapat mempengaruhi umur jalan.
Gambar 3.7 Retak Kulit Buaya
3. Retak pinggir (edge crack), retak memanjang
jalan, dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu.
Retak ini disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase
kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah
daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi
sebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang
dapat semakin merusak lapisan permukaan. Retak dapat diperbaiki dengan mengisi
celah dengan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan,
bahu diperlebar dan dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami penurunan,
elevasi dapat diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak ini lama kelamaan
akan bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang-lubang.
Gambar 3.8 Retak Pinggir
Gambar 3.9 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan
5. Retak
sambungan jalan (lane joint cracks), retak memanjang, yang terjadi pada
sambungan 2 lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya ikatan
sambungan kedua lajur. Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan campuran
aspal cair dan pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak diperbaiki,
retak dapat berkembang menjadi lebar karena terlepasnya butir-butir pada tepi
retak dan meresapnya air ke dalam lapisan.
Gambar 3.10 Retak Sambungan Pelebaran Jalan
Gambar 3.11 Retak Refleksi
7.Retak
susut (shrinkage cracks), retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak
besar dengan susut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan
pondasi dan tanah dasar. Perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan
campuran aspal cair dan pasir serta dilapisi dengan burtu.
Gambar 3.12 Retak Susut
Gambar 3.13 Retak Slip
b.
Distorsi
(distortion)
Distorsi / perubahan
bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,pemadatan yang kurang pada
lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas.
Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan terlebih dahulu jenis dan
penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat ditentukan jenis
penanganan yang tepat. Distorsi dapat dibedakan atas :
1.
Alur
(ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat
merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan,
mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-retak.
Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan
demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada
lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat pula menimbulkan
deformasi plastis.Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan
P6 (perataan) untuk kerusakan alur ringan. Untuk kerusakan alur yang cukup
parah dilakukan perbaikan P5 (penambalan lubang) yang pelaksanaan serta bahan
dan peralatannya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar
3.14 Alur
2. Keriting
(corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya lapisan
permukaan yang berkeriting ini pengemudi akan merasakan ketidaknyamanan dalam
mengemudi. Penyebab kerusakan ini adalah rendahnya stabilitas campuran yang
dapat berasal dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan
agregat halus, agregat berbentuk butiran dan berpermukaan licin, atau aspal
yang dipergunakan mempunyai penetrasi yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi
jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang
menggunakan aspal cair). Perbaikan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan
dengan melakukan metode perbaikan P6 (perataan) dan juga perbaikan P5
(penambalan lubang) jika keriting juga disertai dengan timbulnya lubang-lubang
pada permukaan jalan.Kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan :
a. Jika
lapis permukaan yang berkeriting itu memiliki lapisan pondasi agregat,
perbaikan yang tepat adalah dengan mengaruk kembali, dicampur dengan lapis
pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis permukaan baru.
b. Jika
lapis permukaan dengan bahan pengikat memiliki ketebalan > 5 cm, maka lapis
tipis yang mengalami keriting tersebut diangkat dan diberi lapis permukaan yang
baru.
Gambar
3.15 Keriting
3. Sungkur
(shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, ditempat kendaraan sering
berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan terjadi dengan atau
tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan keriting. Perbaikan dapat
dilakukan dengan cara perbaikan P6 (perataan) dan perbaikan P5 (penambalan
lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan
peralatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 3.16 Sungkur
4. Amblas
(grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat
terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air yang tergenang ini dapat
meresap ke dalam lapisan permukaan yang akhirnya menimbulkan lobang. Penyebab
amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan
yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar
mengalami settlement. Perbaikan dapat dilakukan dengan :
ü Untuk
amblas yang < 5cm, lakukan metode perbaikan P6 (perataan).
ü Untuk
amblas yang > 5 cm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan lubang).
ü Periksa
dan perbaiki selokan dan gorong-gorong agar air lancar mengalir.
ü Periksa
dan perbaiki bahu jalan yang mengalami kerusakan.
ü
Selanjutnya
untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Gambar
2.17 Amblas
5. Jembul
(upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi akibat
adanya pengembangan tanah dasar pada tanah yang ekspansif. Perbaikan dilakukan
dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisnya kembali.
c. Cacat
permukaan (disintegration
Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :
Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :
1.
Lubang (potholes), berupa mangkuk,
ukuran bervariasi dari kecil sampai besar. Lubang-lubang ini menampung dan
meresapkan air ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya
kerusakan jalan. Lubang dapat terjadi karena :
a.
Campuran material lapis permukaan
jelek, seperti :
ü Kadar
aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
ü Agregat
kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.
ü Temperatur
campuran tidak memenuhi persyaratan
b.
Lapis permukaan tipis sehingga
ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat pengaruh cuaca.
c.
Sistem drainase jelek, sehingga air
banyak yang meresap dan mengumpul pada lapis permukaan.
d.
Retak-retak yang terjadi tidak
segera ditangani sehingga air meresap masuk dan mengakibatkan terjadinya
lubang-lubang kecil.
Lubang-lubang tersebut diperbaiki dengan cara:
ü Untuk
lubang yang dangkal ( < 20 mm ), lakukan metode perbaikan P6 (perataan).
ü Untuk
lubang yang > 20 mm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan lubang).
Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar
3.18 Lubang
2.
Pelepasan butir (raveling), dapat
terjadi secara meluas dan mempunyai efek serta disebabkan oleh hal yang sama
dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan memberikan lapisan tambahan diatas
lapisan yang mengalami pelepasan butir setelah lapisan tersebut dibersihkan,
dan dikeringkan.
Gambar 3.19 Pelepasan Butiran
3.
Pengelupasan lapisan permukaan
(stripping), dapat disebabkan oleh kurangnya ikatan antar lapisan permukaan dan
lapis dibawahnya, atau terlalu tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki
dengan cara digarus, diratakan dan dipadatkan. Setelah itu dilapis dengan
buras.
d. Pengausan
(polished aggregate)
Permukaan
menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan. Pengausan terjadi karena
agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan,
atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk
cubical. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan latasir, buras, atau
latasbum.
Gambar 3.20 Pengausan
e.
Kegemukan
(bleeding / flushing)
Gambar 3.21 Kegemukan
f.
Penurunan
Pada Bekas Penanaman Utilitas
Gambar
3.22 Penurunan pada bekas penanaman
utilitas
2.
Jenis
Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Pavement Condition Index
(PCI)
Menurut Metode Pavement
Condition Index (PCI), jenis dan tingkat kerusakan perkerasan lentur jalan raya
dibedakan menjadi :
a. Alligator
Cracking
Retak
yang saling merangkai membentuk kotak – kotak kecil yang menyerupai kulit
buaya. Kerusakan ini disebabkan karena konstruksi perkerasan yang tidak kuat
dalam mendukung beban lalu lintas yang berulang ulang. Pada mulanya terjadi
retak – retak halus, akibat beban lalu lintas yang berulang menyebabkan retak –
retak halus terhubung membentuk serangkaian kotak – kotak kecil yang memiliki
sisi tajam sehingga menyerupai kulit buaya. Retak buaya biasa terjadi hanya di
daerah yang dilalui beban lalu lintas yang berulang dan biasanya disertai alur,
sehingga tidak akan terjadi di seluruh daerah kecuali seluruh area jalan
dikenakan arus lalu lintas. Cara mengukur kerusakan yang terjadi adalah dengan
menghitung luasan retak.
Tingkat
kerusakan alligator cracking (retak kulit buaya) dibagi menjadi kerusakan
ringan (low) yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung
tanpa ada retakan yang pecah, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan
serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak
sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah, dan
kerusakan berat (high) yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit
buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan
terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.
b. Bleeding
Kegemukan
(bleeding) biasanya ditandai dengan permukaan jalan yang menjadi lebih hitam
dan licin. Permukaan jalan menjadi lebih lunak dan lengket. Ini disebabkan
pemakaian aspal yang berlebih. Cara mengukur kerusakan adalah dengan menghitung
luasan kegemukan yang terjadi.Tingkat kerusakan dibagi menjadi kerusakan ringan
(low) yang ditandai dengan permukaan jalan yang hitam, aspal tidak menempel
pada roda kendaraan, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan permukaan
aspal hitam, aspal menempel pada kendaraan selama beberapa minggu dalam
setahun, kerusakan berat (high) yang di tandai dengan permukaan yang berwarna
hitam dan terdapat jejak roda kendaraan akibat aspal yang menempel pada roda
kendaraan.
c. Block
Cracking
Hampir sama dengan
retak kulit buaya, merupakan rangkaian retak berbentuk persegi dengan sudut
tajam, tetapi bentuknya saja yang lebih besar dari retak kulit buaya. Block
craking ini tidak hanya terjadi di daerah yang mengalami arus lalu lintas
berulang, tetapi juga dapat terjadi di daerah yang jarang dilalui arus lalu
lintas.
d. Bums and Sags
Gambar 3.23 Bums and Sags
e.
Corrugation
Keriting
(corrugation) Kerusakan lapian perkerasan tampak seperti bergelombang dimana
jarak antara tiap gelombang sangat dekat. Tingkat kerusakan diukur dari beda
tinggi antar lembah dan puncak gelombang. Penyebab kerusakan dimungkinkan oleh
terjadinya pergeseran bahan perkerasan, lapis perekat antara lapis permukaan
dan lapis pondasi tidak memadai, pengaruh kendaraan yang sering berhenti dan
berjalan secara tiba – tiba. Tingkat kerusakan keriting dapat diukur
berdasarkan kedalaman keriting yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan
(low) kedalaman < ½ inchi, untuk (medium) kedalaman ½ – 1 inchi, dan untuk
tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 1 inchi.
f.
Depression
Amblas
(depression) merupakan kerusakan yang terjadi dimana suatu permukaan lapisan
perkerasan lebih rendah daripada lapisan permukaan di sekitarnya, sehingga
kondisi jalan tampak seperti membentuk kubangan atau lengkungan. Kerusakan ini
terjadi karena beban lalu lintas yang berlebih tidak sesuai dengan perencanaan.
Tingkat kerusakan amblas dapat diukur berdasarkan kedalaman amblas yang
terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan (low) kedalaman ½ - 1 inchi, untuk
(medium) kedalaman 1 – 2 inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high)
kedalaman > 2 inchi.
g.
Edge Cracking
Kerusakan
yang terjadi pada tepi lapis perkerasan yang tampak berupa retakan, kerusakan
jenis ini biasanya terjadi akibat kepadatan lapis permukaan di tepi perkerasan
tidak memadai, juga disebabkan seringnya air yang dari bahu jalan.
h.
Joint Reflection Cracking
Retak
refleksi merupakan jenis kerusakan jalan yang berbentuk seperti retak memanjang
dan melintang membentuk kotak. Retak refleksi ini merupakan gambaran dari retak
perkerasan sebelumnya.
i.
Lane / Shoulder Drop Off
Ditandai
dengan adanya perbedaan elevasi antara badan jalan dengan bahu jalan. Kerusakan
ini dapat disebabkan oleh erosi tanah pada bahu jalan, penurunan tanah dasar
pada bahu, dan juga perencanaan jalan tanpa menyesuaikan tingkat bahu jalan.
Kerusakan ini sangat berbahaya bagi pengendara karena perbedaan elevasi yang
besar antara badan jalan dan bahu jalan dapat menyebabkan kecelakaan lalu
lintas.
j.
Longitudinal and Transverse Cracking
Retak
memanjang (longitudinal cracking) merupakan retak yang terjadi searah dengan
sumbu jalan, retak melintang (transverse cracking) merupakan retak yang terjadi
tegak lurus sumbu jalan. Retak ini disebabkan oleh kesalahan pelaksanaan,
terutama pada sambungan perkerasan atau pelebaran, dan juga dapat disebabkan
penyusutan permukaan aspal akibat suhu rendah atau pengerasan aspal.
k. Patching
and Utility Cut Patching
Tambalan
(patching) adalah wilayah perkerasan yang telah diganti menjadi baru untuk
memperbaiki perkerasan yang ada. Tambalan dianggap merupakan cacat jalan
walaupun sudah di kerjakan dengan sangat baik. Idetifikasi terhadap tambalan
ini biasanya diukur dengan menghitung luasan tambalan. Tambalan dibagi
berdasarkan tingkat kerusakannya yaitu tingkat kerusakan rendah (low), sedang
(medium), dan berat (high), sesuai dengan bentuk tambalannya.
l.
Polished Aggregate
Kerusakan
ini ditandai dengan aggregat pada permukaan jalan menjadi halus dan licin
akibat beban lalu lintas yang berulang ulang. Ini menyebabkan daya saling
mengikat antara ban kendaraan dengan aspal menjadi berkurang sehingga berbahaya
pada saat mengemudi kencang karena jalan memiliki tingkat kekasaran (skid
resistance) yang rendah. Cara mengukur adalah dengan menghitung luasan yang
mengalami polished aggregate, tetapi jika disertai dengan kerusakan kegemukan
(bleeding), maka polished aggregate diabaikan.
m. Potholes
Lubang
(potholes) biasanya berukuran tidak begitu besar (diameter < 90 cm).
berbentuk seperti mangkuk yang tidak beraturan dengan pinggiran tajam.
pertumbuhan lubang semakin besar diakibatkan kondisi air yang tergenang pada
badan jalan. Lubang pada dasarnya bermula dari retak-retak yang semakin parah
akibat air meresap hingga ke lapisan jalan sehingga menyebabkan sifat saling
mengikat aggregat dalam lapisan menjadi berkurang.
n.
Railroad Crossing
Kerusakan
ini merupakan lintasan jalur kereta api yang terdapat dalam jalan raya.
Terdapat benjolan dan lengkugan pada daerah lintasan ini sehingga mengganggu
kenyamanan pengendara. Cara mengukur adalah dengan menghitung luasan jalur
kereta yang melintasi jalan dan juga diukur sesuai dengan tingkat kerusakannya.
o. Rutting
Alur
(rutting) adalah penurunan setempat yang terjadi pada jalur roda kendaraan,
alur pada permukaan jalan ada yang disertai retak dan tanpa disertai retak.
Alur tidak terjadi di seluruh permukaan badan jalan, hanya pada daerah yang
dilalui roda kendaraan. Dapat disebabkan adanya muatan yang berlebih sehingga
menyebabkan deformasi yang permanen pada permukaan jalan. Jika alur sering
tergenang air maka dapat meningkat menjadi lubang. Berdasarkan tingkat
kerusakannya, alur di bagi menjadi 3 yaitu, tingkat kerusakan rendah (low)
dengan kedalaman peurunan ¼ - ½ inchi, tingkat kerusakan sedang (medium) dengan
kedalaman penurunan > ½ - 1 inchi, dan tingkat kerusakan buruk (high) dengan
kedalaman penurunan > 1 inchi.
p. Shoving
Jembul
(shoving) umumya terjadi di sekitar alur roda kendaraan di tepi perkerasan dan
sifatnya permanen. Kerusakan ini disebabkan oleh arus lalu lintas yang melebihi
beban standar. Cara mengukur jembul adalah dengan mengukur luasan permukaan
sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi.
q. Slippage
Cracking
Retak
selip (slippage cracking) merupakan retak menyerupai bulan sabit atau setengah
retak berbentuk bulan yang memiliki dua ujung menunjuk jauh kearah lalu lintas.
Cara mengukur retak selip adalah dengan mengukur luasan permukaan sesuai dengan
tingkat kerusakan yang terjadi mulai dari rendah (low), sedang (medium), dan
buruk (high).
r.
Swell
Pembengkakan
jalan (swell) merupakan kerusakan yang di tandai dengan tonjolan di sekitar
permukaan jalan dan dapat mencapai panjang sekitar 3 m pada permukaan jalan,
dapat juga disertai retak permukaan. Ini disebabkan kepadatan tanah dasar yang
kurang. Memiliki tingkatan kerusakan mulai dari rendah (low), sedang (medium),
dan buruk (high).
s.
Weathering and Ravelling
Kerusakan
ini ditandai dengan permukaan perkerasan yang kasar dan rusak akibat hilangnya
bahan pengikat aspal atau tar sehingga menyebabkan pelepasan butiran aggregat.
Pelepasan butiran ini menunjukkan kualitas aspal serta campuran yang rendah
atau ada kesalahan dalam pencampuran. Pelepasan butiran ini juga dapat di
sebabkan adanya lalu lintas yang berlebih. Berdasarkan tingkat kerusakannya
dapat dibedakan menjadi kerusakan rendah (low) ditandai dengan dimulainya
pelepasan butiran pada permukaan jalan, kerusakan sedang (medium) yang ditandai
dengan pelepasan butiran yang menyebabkan permukaan jalan menjadi tidak rata
dan kasar, kerusakan berat (high) yang ditandai dengan pelepasan butiran yang
menyebabkan permukaan menjadi tidak rata, kasar, dan tidak jarang disertai
dengan adanya lubang disekitar kerusakan.
3.2.2
Perkerasan
Kaku
Perkerasan jalan beton semen atau
secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri atas plat (slab) beton semen
sebagai lapis pondasi dan lapis pondasi bawah (bisa juga tidak ada) di atas tanah
dasar. Dalam konstruksi perkerasan kaku, plat beton sering disebut sebagai
lapis pondasi karena dimungkinkan masih adanya lapisan aspal beton di atasnya
yang berfungsi sebagai lapis permukaan.
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban ke bidang tanah dasra yang cukup luas sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat beton sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari tebal lapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis permukaan.
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban ke bidang tanah dasra yang cukup luas sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat beton sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari tebal lapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis permukaan.
Karena yang paling penting adalah
mengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling
diperhatikan dalam perencanaan tebal perkerasan beton semen adalah kekuatan beton
itu sendiri. Adanya beragam kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya
berpengaruh kecil terhadap kapasitas struktural perkerasannya.
Lapis pondasi bawah jika digunakan
di bawah plat beton karena beberapa pertimbangan, yaitu antara lain untuk
menghindari terjadinya pumping, kendali terhadap sistem drainasi, kendali
terhadap kembang-susut yang terjadi pada tanah dasar dan untuk menyediakan
lantai kerja (working platform) untuk pekerjaan konstruksi.
Secara
lebih spesifik, fungsi dari lapis pondasi bawah adalah :
1. Menyediakan
lapisan yang seragam, stabil dan permanen.
2. Menaikkan
harga modulus reaksi tanah dasar (modulus of sub-grade reaction = k), menjadi
modulus reaksi gabungan (modulus of composite reaction).
3. Mengurangi
kemungkinan terjadinya retak-retak pada plat beton.
4. Menyediakan
lantai kerja bagi alat-alat berat selama masa konstruksi.
Menghindari
terjadinya pumping, yaitu keluarnya butir-butiran halus tanah bersama air pada
daerah sambungan, retakan atau pada bagian pinggir perkerasan, akibat lendutan
atau gerakan vertikal plat beton karena beban lalu lintas, setelah adanya air
bebas terakumulasi di bawah pelat.Pemilihan penggunaan jenis perkerasan kaku
dibandingkan dengan perkerasan lentur yang sudah lama dikenal dan lebih sering
digunakan, dilakukan berdasarkan keuntungan dan kerugian masing-masing jenis
perkerasan tersebut seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Perbedaan antara Perkerasan Kaku dengan
Perkerasan Lentur.
No
|
Jenis
Perbedaan
|
Perkerasan
Lentur
|
Perkerasan
Kaku
|
1
|
Bahan Pengikat
|
Aspal
|
Semen
|
2
|
Repetisi Beban
|
Timbul Rutting
(lendutan pada jalur roda)
|
Timbul retak
retak pada permukaan
|
3
|
Penurunan Tanah Dasar
|
Jalan bergelombang
(mengikuti tanah dasar)
|
Bersifat
sebagai balok diatas perletakan
|
4
|
Perubahan Tempratur
|
Modulus
kekakuan berubah.
Timbul tegangan dalam yang kecil |
Modulus
kekakuan tidak berubah.
Timbul tegangan dalam yang besar |
3.2.2.1
Perkembangan perkerasan kaku
Pada awal mula rekayasa
jalan raya, plat perkerasan kaku dibangun langsung di atas tanah dasar tanpa
memperhatikan sama sekali jenis tanah dasar dan kondisi drainasenya. Pada
umumnya dibangun plat beton setebal 6 - 7 inch. Dengan bertambahnya beban lalu-lintas,
khususnya setelah Perang Dunia ke II, mulai disadari bahwa jenis tanah dasar
berperan penting terhadap unjuk kerja perkerasan, terutama sangat pengaruh
terhadap terjadinya pumping pada perkerasan. Oleh karena itu, untuk selanjutnya
usaha-usaha untuk mengatasi pumping sangat penting untuk diperhitungkan dalam
perencanaan.
Pada periode sebelumnya, tidak biasa membuat pelat beton dengan penebalan di bagian ujung / pinggir untuk mengatasi kondisi tegangan struktural yang sangat tinggi akibat beban truk yang sering lewat di bagian pinggir perkerasan.Kemudian setelah efek pumping sering terjadi pada kebanyakan jalan raya dan jalan bebas hambatan, banyak dibangun konstruksi pekerasan kaku yang lebih tebal yaitu antara 9 - 10 inch.
Pada periode sebelumnya, tidak biasa membuat pelat beton dengan penebalan di bagian ujung / pinggir untuk mengatasi kondisi tegangan struktural yang sangat tinggi akibat beban truk yang sering lewat di bagian pinggir perkerasan.Kemudian setelah efek pumping sering terjadi pada kebanyakan jalan raya dan jalan bebas hambatan, banyak dibangun konstruksi pekerasan kaku yang lebih tebal yaitu antara 9 - 10 inch.
Guna mempelajari
hubungan antara beban lalu-lintas dan perkerasan kaku, pada tahun 1949 di
Maryland USA telah dibangun Test Roads atau Jalan Uji dengan arahan dari
Highway Research Board, yaitu untuk mempelajari dan mencari hubungan antara
beragam beban sumbu kendaraan terhadap unjuk kerja perkerasan kaku.Perkerasan
beton pada jalan uji dibangun setebal potongan melintang 9 - 7 - 9 inch, jarak
antara siar susut 40 kaki, sedangkan jarak antara siar muai 120 kaki. Untuk
sambungan memanjang digunakan dowel berdiameter 3/4 inch dan berjarak 15 inch
di bagian tengah. Perkerasan beton uji ini diperkuat dengan wire mesh.
Tujuan dari program
jalan uji ini adalah untuk mengetahui efek pembebanan relatif dan konfigurasi
tegangan pada perkerasan kaku. Beban yang digunakan adalah 18.000 lbs dan 22.400
pounds untuk sumbu tunggal dan 32.000 serta 44.000 pounds pada sumbu ganda.
Hasil yang paling penting dari program uji ini adalah bahwa perkembangan retak
pada pelat beton adalah karena terjadinya gejala pumping. Tegangan dan lendutan
yang diukur pada jalan uji adalah akibat adanya pumping.
Selain itu dikenal juga AASHO Road
Test yang dibangun di Ottawa, Illinois pada tahun 1950. Salah satu hasil yang
paling penting dari penelitian pada jalan uji AASHO ini adalah mengenai indeks
pelayanan. Penemuan yang paling signifikan adalah adanya hubungan antara
perubahan repetisi beban terhadap perubahan tingkat pelayanan jalan. Pada jalan
uji AASHO, tingkat pelayanan akhir diasumsikan dengan angka 1,5 (tergantung
juga kinerja perkerasan yang diharapkan), sedangkan tingkat pelayanan awal
selalu kurang dan 5,0.
3.2.2.2
Jenis-jenis perkerasan jalan beton
semen
Berdasarkan adanya sambungan dan tulangan plat beton
perkerasan kaku, perkerasan beton semen dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis
sebagai berikut:
Perkerasan beton semen biasa dengan sambungan tanpa tulangan
untuk kendali retak.
1.
Perkerasan beton semen biasa dengan
sambungan dengan tulangan plat untuk kendali retak. Untuk kendali retak
digunakan wire mesh diantara siar dan penggunaannya independen terhadap adanya tulangan
dowel.
2.
Perkerasan beton bertulang menerus
(tanpa sambungan). Tulangan beton terdiri dari baja tulangan dengan prosentasi
besi yang relatif cukup banyak (0,02 % dari luas penampang beton).
Pada saat ini, jenis perkerasan beton semen yang populer dan banyak digunakan di negara-negara maju adalah jenis perkerasan beton bertulang menerus.
Pada saat ini, jenis perkerasan beton semen yang populer dan banyak digunakan di negara-negara maju adalah jenis perkerasan beton bertulang menerus.
3.2.3
perkerasan
komposit
Perkerasan komposit
merupakan gabungan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) dan
lapisan perkerasan lentur (flexible pavement) di atasnya, dimana kedua
jenis perkerasan ini bekerja sama dalam memilkul beban lalu lintas. Untuk ini
maka perlua ada persyaratan ketebalan perkerasan aspal agar mempunyai kekakuan
yang cukup serta dapat mencegah retak refleksi dari perkerasan beton di bawahnya.Konstruksi
ini umumnya mempunyai tingkat kenyamanan yang lebih baik bagi pengendara
dibandingkan dengan konstruksi perkerasan beton semen sebagai lapis permukaan
tanpa aspal.
3.3 JENIS
PEMELIHARAAN JALAN
Pemeliharaan
jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan, rehabilitasi,
penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan ditinjau dari
waktu pelaksanaannya adalah :
1. Pemeliharaan
rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis permukaan yang sifatnya
untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan
kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun.
2. Pemeliharaan
berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu
tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kekuatan
struktural.
3. Peningkatan
jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan jalan yang berupa
peningkatan struktural dan atau geometriknya guna mencapai tingkat pelayanan
yang direncanakan.
Komentar
Posting Komentar