TEKNIK JALAN RAYA II


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG
Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang biasanya dipakai dalam perkerasan jalan adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain semen, aspal dan tanah liat. Selanjutnya, perkembangan cara perhitungan tebal konstruksi perkerasan jalan di Indonesia dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu
Tahap ke-1 :menitikberatkan kepada pengalaman-pengalaman di lapangan, sehingga rumus/perhitungan yang diperoleh adalah rumus-rumus empiris;
Tahap ke-2 : menitikberatkan kepada teori dan analisis meski hanya merupakan teori pendekatan yang dilengkapi dengan pengalaman; rumus yang diperoleh adalah rumus-rumus teoretis yang dilengkapi dengan koefisien-koefisien hasil pengalaman untuk keperluan praktik disertai pula dengan grafik atau nomogram
Tahap ke-3 : mengembangkan rumus-rumus teoretis tersebut di atas dengan percobaan yang intensif di laboratorium sehingga menghasilkan rumus/persamaan analitis yang dilengkapi dengan rumus empiris laboratorium.
Perkembangan teknik jalan seiring dengan berkembangnya teknologi yang ditemukan umat manusia Jalan yang diperkeras pertama kali ditemukan di Mesopotamia berkaitan dengan ditemukannya roda sekitar 3500 tahun S.M. Konstruksi Perkerasan berkembang pesat pada jaman keemasan Romawi, pada saat itu telah dimulai dibangun jalan-jalan yang terdiri dari beberapa lapis perkerasan sampai awal abad 18.
Pada tahun 1980-an diperkenalkan perkerasan jalan dengan aspal emulsi dan butas, tetapi dalam pelaksanaan atau pemakaian aspal butas terdapat permasalahan dalam hal variasi kadar aspalnya yang kemudian disempurnakan pada tahun 1990 dengan teknologi beton mastik. Perkembangan konstruksi perkerasan jalan menggunakan aspal panas (hot mix) mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1975, kemudian disusul dengan jenis yang lain seperti aspal beton (asphalt concrete/AC) dan lain-lain. Teknik-teknik tersebut kebanyakan hanya mengembangkan jenis lapisan penutup tempat dimana muatan/beban langsung bersinggungan. Perkembangan dan inovasi tersebut dilakukan demi menjaga keamanan dan kenyamanan pengguna jalan sekaligus diharapkan dapat mereduksi biaya pembuatan maupun perawatan (maintenance). Jalan aspal modern merupakan hasil karya imigran Belgia Edward de Smedt di Columbia University, New York. Pada tahun 1872, ia sukses merekayasa aspal dengan kepadatan maksimum. Aspal itu dipakai di Battery Park dan Fifth Avenue, New York, tahun 1872 dan Pennsylvania Avenue, Washington D.C pada tahun 1877.
Konstruksi perkerasan menggunakan semen sebagai bahan pengikat telah ditemukan pada tahun 1828 di London tetapi konstruksi perkerasan ini baru mulai berkembang pada awal 1900-an. Konstruksi perkerasan menggunakan semen atau concrete pavement mulai dipergunakan di Indonesia secara besar-besaran pada awal tahun 1970 yaitu pada pembangunan Jalan Tol Prof. Sediyatmo. Metode ini selain menghasilkan jalan yang relatif tahan terhadap air (musuh utama aspal) juga dapat dikerjakan dalam waktu yang cukup singkat.
Secara umum perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia mulai berkembang pesat sejak tahun 1970 dimana mulai diperkenalkannya pembangunan perkerasan jalan sesuai dengan fungsinya. Sementara perencanaan geometrik jalan seperti sekarang ini baru dikenal sekitar pertengahan tahun 1960 dan baru berkembang dengan cukup pesat sejak tahun 1980.
John Louden Mac Adam (1756-1836), orang Skotlandia memperkenalkan konstruksi perkerasan yang terdiri dari Batu kali/ batu pecah, pori diatasnya ditutup dengan batu yang lebih kecil kemudian dikenal dengan nama Perkerasan Macadam, untuk memberikan lapisan yang kedap air maka diatasnya diberi lapisan aus menggunakan aspal diatasnya ditaburi pasir kasar. Pierre Marie Jerome Tresaguet (1716-1796) dari Prancis mengembangkan sistim lapisan batu pecah yang dilengkapi dengan drainase, kemiringan melintang serta mulai menggunakan pondasi dari batu. Thomas Telford (1757-1834) dari Skotlandia membangun jalan mirip dengan apa yang dilakukan Tresaguet. Konstruksi perkerasannya terdiri dari batu pecah berukuran 15/20 sampai 25/30 yang disusun tegak . Batu pecah kecil diletakkan diatasnya untuk menutup pori-pori yang ada sehingga permukaannya rata kemudian dikenal dengan nama Perkerasan Telford walaupun diatasnya telah diberikan lapisan aus dengan pengikat aspal.
Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat telah ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun S.M. Dan mulai tahun 1920 sampai sekarang teknologi konstruksi perkerasan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat maju pesat.
1.2.      RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah antara lain :
1.      Dapat menghitung dan merencanakan perkerasan lentur dengan metode analisa komponen.
2.      Mampu menghitung volume pekerjaan
3.      Mampu menghitung Rencana Anggaran Biaya ( RAB ) dari pekerjaan tersebut.
1.3       MAKSUD DAN TUJUAN
            Maksud dari Penyusunan Tugas Teknik Jalan raya II adalah :
1)      Meningkatkan kemampuan jalan yang direncanakan dalam melayani lalu lintas yang lewat.
2)      Mendesain struktur perkerasan jalan yang sesuai sehingga dapat meningkatkan kemampuan jalan secara struktural dan dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan.
3)      Mengetahui jenis dan karakteristik tanah dasar pada ruas jalan eksisting.
4)      Mengevaluasi kondisi struktural dari perkerasan jalan
5)      untuk memenuhi kredit sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Universitas Muhammadiyah Mataram Jurusan Teknik Sipil.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1              PERENCANAAN PERKERASAN JALAN DENGAN METODE BINA MARGA (ANALISA KOMPONEN)

Adapun data yang diperlukan untuk menganalisis tebal pelapisan dengan metode ini seperti disajikan dalam pedoman penentuan tebal perkerasan lentur jalan raya (1983), adalah sebagai berikut :

2.1.1             Data lalu lintas
Tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari beban yang akan dipikul, berarti dari arus lalu lintas yang hendak memakai jalan tersebut. Besarnya arus lalu lintas dapat diperoleh dari (Sukirman,1993):
a.       Analisa lalu lintas saat ini sehingga diperoleh data mengenai :
1.      Jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan
2.      Jenis kendaraan beserta jumlah tiap jenisnya
3.      Konfigurasi sumbu dari setiap jenis kendaraan
4.      Beban masing-masing sumbu kendaraan
b.      Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana, antara lain berdasarkan atas analisa ekonomi dan sosial daerah tersebut.

2.1.2      Data CBR (California Bearing Ratio).
                              Nilai CBR yang diperoleh kemudian dipakai untuk pembuatan perkerasan yang diperlukan diatas lapisan yang nilai CBR-nya ditentukan kemudian dari data CBR serta bantuan grafik maka sifat-sifat perkerasan dan daya dukung tanah dasar dapat diketahui.
Ø  Penentuan Nilai CBR tanah Dasar
Niali CBR satu titik pengamatan;
CBR titik = {(h1(CBR1)1/3+ …. hn(CBRn)1/3 /100 }3
CBR segmen
Cara analitis :
CBR segmen = CBR rata-rata – (CBR mak – CBR min /R
2.1.3     Daya dukung tanah (DDT).
                              Untuk menentukan atau menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade), dipakai cara California Bearing Ratio (CBR). Cara ini pertama kali dikembangakan oleh California State Highway Departement.Berdasarkan pedoman penentuan tebal perkerasan lentur No.01/PD/B/1983, pemeriksaan CBR dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.          Ditentukan harga CBR terendah
b.         Ditentukan jumlah CBR yang sama dan lebih besar masing-masing nilai CBR
c.          Jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 % sedangkan jumlah lainnya merupakan prosentase dari 100 %
d.         Dibuat hubungan antara harga CBR dan prosentase jumlah CBR tersebut
e.          Nilai CBR rata-rata adalah yang didapat dari angka prosentase 90%
2.1.4      Faktor Regional (FR).
Faktor Regional adalah faktor yang menunjukkan keadaan lingkungan suatu tempat atau daerah.Di Indonesia perbedaan kondisi lingkungan yang dipertimbangkan meliputi (Sukirman,1993):
a.          kondisi lapangan, yaitu tingkat permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, kelandaian serta prosentase kendaraan berat.
b.         Kondisi iklim, yaitu intensitas hujan rata-rata per tahun seperti
tabel 2.1
Faktor utama yang mempengaruhi konstruksi perkerasan jalan ialah air yang berasal dari hujan dan pengaruh perubahan temperatur.
Tabel 2.1 Faktor Regional.
Curah Hujan (mm/th)
Kelandaian I
( < 6 % )
Kelandaian II
( 6 – 10 % )
Kelandaian III
( > 10 % )
% Kendaraan Berat
% Kendaraan Berat
% Kendaraan Berat
£ 30 %
> 30 %
£ 30 %
> 30 %
£ 30 %
> 30 %
Iklim I < 900
0.5
1.0 – 1.5
1.0
1.5 – 2.0
1.5
2.0 – 2.5
Iklim II > 900
1.5
2.0 – 2.5
2.0
2.5 – 3.0
2.5
3.0 – 3.5
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983,Jakarta.



2.1.5    Indeks Permukaan (IP)
                                 Indeks Permukaan ini menyatakan nilai dari kehalusan/ kerataan serta kekokohan permukaan jalan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan lalu lintas yang lewat (Bina Marga,1983).
                                 Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut Tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (Ipo).

Jenis Lapisan Perkerasan
Ipo
Roughness (mm/km)
LASTON

Asbuton

HRA

Burda
Burtu
Lapen

Latasbum
Buras
Latasir
Jalan tanah
Jalan kerikil
³ 4
3,9 – 3,5
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,4 – 3,0
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
£ 2,4
£ 2,4
£ 1000
> 1000
£ 2000
> 2000
< 2000
> 2000
£ 2000
< 2000
£ 3000
> 3000
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983, Jakarta.
                  Untuk menentukan Indeks Permukaan akhir (Ipt) dari perkerasan rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), seperti Tabel 3.3  berikut ini :




Tabel 2.3 Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (Ipt).

LER*)
Klasifikasi Jalan
Lokal
Kolektor
Arteri
Tol
< 10
10 – 100
100 – 1000
>1000
1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
1,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
2,5
-
-
-
2,5
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983,Jakarta.
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
2.1.6    Perhitungan Angka Ekivalen                               
              1.  Angka Ekivalen Beban Sumbu
                  Dalam merencanakan suatu tebal perkerasan terlebih dahulu perlu diketahui jenis-jenis kendaraan yang lewat pada jalur tersebut.Pengelompokan jenis kendaraan untuk perencanaan tebal perkerasan dapat dilakukan sebagai berikut (Sukirman,1993):
a)      Mobil penumpang, termasuk didalamnya semua kendaraan dengan berat total 2 ton Bus
b)      Truk 2 as
c)      Truk 3 as
d)     Truk 5 as
e)      Semi trailer
Beban standar merupakan beban sumbu tunggal beroda ganda seberat 18.000 pon (8,16 ton)
8,16 ton
Tekanan Angin = 5,5 Kg/cm 2
 






Gambar 3.1. Beban Sumbu Standar 18000 pon / 8,16 ton.
(Sukirman,1993).Bina Marga memberikan rumus untuk menentukan angka ekivalen beban sumbu sebagai berikut :
E sumbu tunggal  = (P/8160 4……………...…………………..….(3.2)
E sumbu ganda    = (P/8160 4.0.086…..……………………..…....(3.3)
Dengan P             = beban sumbu ganda (Kg)

2. Angka Ekivalen Kendaraan.
      Angka ekivalen kendaraan adalah angka yang menunjukan jumlah lintasan dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton yang akan menyebarkan kerusakan yang sama atau penurunan indeks permukaan yang sama apabila kendaraan tersebut lewat satu kali.(Sukirman,1993)
Menurut Bina Marga angka Ekivalen dapat dihitung dengan :
E truk kosong = E sb Depan + E sb Belakang = E truk……..…....(3.4)
                   Tabel 2.4 Angka Ekivalen ( E ) Beban sumbu kendaraan.

Beban Sumbu
Angka Ekivalen
Kg
Lb
Sumbu tunggal
Sumbu ganda
1000
2005
0.0002
-
2000
4409
0.0036
0.0003
3000
6614
0.0183
0.0016
4000
8818
0.0577
0.0050
5000
11023
0.1410
0.0121
6000
13228
0.2923
0.0251
7000
15432
0.5415
0.0466
8000
17637
0.9238
0.0794
8160
18000
1.0000
0.0860
9000
19841
1.4798
0.1273
10000
22046
2.2555
0.1940
12000
26455
4.6770
0.4022
14000
30864
8.6647
0.7452
16000
35276
14.7815
1.2712
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983, Jakarta

Angka ekivalen yang dipergunakan dalam perencanaan adalah angka ekivalen kendaraan yang diharapkan selama umur rencana.

2.1.7       Perhitungan Lalu Lintas.
              1.  Lalu Lintas Harian Rata-Rata.
                                     LHR dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (SMP) dengan mengabaikan kendaraan tak bermotor. Angka/nilai LHR menunjukan volume lalu lintas harian kedua jurusan dan dinyatakan dalam mobil ekivalen.
                                     Volume lalu lintas pada jalur yang akan direncanakan, pada tahun yang akan datang harus diketahui terlebih dahulu, dengan memperkirakan faktor pertumbuhan lalu lintas dapat diperkirakan dari analisa ekonomi dan sosial di daerah lokasi proyek.Untuk menghitung volume lalu lintas harian rata rata dipergunakan rumus sebagai berikut (Bina Marga,1983):
LHR akhir   = LHR awal  X (1 + i) n, (Kend/hr/2 arah)………...…...……..(3.5)
Dimana    :
LHR akhir  = Volume lalu lintas pada awal umur rencana
LHR awal    = Volume lalu lintas pada akhir umur rencana
I               = Pertumbuhan lalu lintas per-tahun (%)
n                    = Umur rencana (tahun)   
                 Pengaruh beban lalu lintas yang menyebabkan terjadinya kerusakan ditentukan oleh besarnya arus lalu lintas, yaitu jumlah kendaraan dalam 1 hari/2 arah/total lajur yang dibedakan menurut jenis kendaraan.Dalam perhitungan perancangan perkerasan jalan, analisa lalu lintas untuk setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk jalur 2 arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah jalan dengan median. Analisa lalu lintas yang demikian disebut lalu lintas harian rata-rata (LHR).Dengan mengekivalenkan berat setiap kendaraan terhadap beban standar 18 kips, maka jumlah kendaraan yang melintasi jalur rencana tersebut ditetapkan dalam perhitungan sebagai jumlah lintas ekivalen harian rata-rata untuk masing-masing umur rencana.
Lintas ekivalen dapat dibedakan atas (Sukirman,1993) :
ü  Lintas ekivalen pada saat jalan tersebut dibuka (lintas ekivalen awal umur    rencana = LEP)
ü  Lintas ekivalen pada akhir umur  rencana (lintas ekivalen akhir umur rencana = LEA)
ü  Lintas ekivalen selama umur rencana (AE,18 KSAL), jumlah lintas ekivalen yang akan melintasi jalan tersebut selama masa pelayanan, dari saat dibuka sampai akhir umur rencana.

Langkah –langkah untuk memperoleh lintas ekivalen, adalah sebagai berikut (Sukirman,1993):
a.    Jumlah kendaraan ditentukan dalam 1 hari /2 arah/total lajur yang dibedakan menurut jenis kendaraan.
b.   Berat masing-masing sumbu ditentukan berdasarkan hasil survey timbang dari setiap jenis berat kendaraan.
c.    Angka ekivalen ditentukan dari setiap jenis kendaraan, merupakan jumlah dari angka ekivalen dari beban sumbu depan dan belakang.
d.   Ditentukan presentase kendaraan yang berada pada lajur dengan volume kendaraan berat terbesar. Menurut Bina Marga., jika ruas jalan tersebut tidak memiliki batas lajur, maka jumlah dapat ditentukan dengan berpedoman pada tabel berikut ini :
Tabel 2.5 Pedoman penentuan jumlah jalur.
Lebar perkerasan ( L )
Jumlah jalur (m)
L = 5,50 m
1 lajur
5,50 m < L < 8,25 m
2 lajur
8,25 m < L < 11,25 m
3 lajur
11,25 m < L <15,00 m
4 lajur
15,00 m < L <18,75 m
5 lajur
18,75 m < L < 22,00 m
6 lajur
Sumber : Silvia Sukirman,1995.
Prosentase kendaraan pada lajur rencana dapat ditentukan dengan menggunakan koefisien distribusi kendaraan (C) yang diberikan pada tabel 2.6
Tabel 2.6 Koefisien distribusi ke lajur rencana.
Jumlah lajur
Kendaraan ringan *
Kendaraan berat **
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 lajur
1.00
1.00
1.00
1.00
2 lajur
0.60
0.50
0.70
0.50
3 lajur
0.40
0.40
0.50
0.475
4 lajur

0.30

0.45
5 lajur

0.25

0.425
6 lajur

0.20

0.40
Keterangan : *   berat total < 5 ton, misalnya sedan, pick up
 ** berat total > 5 ton, misalnya bus, truk, traktor, dan lain lain
Sumber : Silvia Sukirman,1993.
Prosentase kendaraan pada lajur rencana dapat pula diperoleh dari survey volume lalu lintas. Khususnya untuk jalan tol dimana umumnya sebagian besar dari kendaraan memakai lajur kiri sedangkan lajur kanan dipergunakan hanya untuk menyiap/ mendahului, maka prosentase seperti yang diberikan pada tabel 2.6 tidaklah dapat dipergunakan.
a.       Faktor pertumbuhan lalu lintas yang diperoleh dari hasil analisa data lalu lintas, perkembangan penduduk, pendapatan perkapita, rancangan induk daerah dan lain lain.
b.      Lintas ekivalen pada saat jalan tersebut di buka (LEP)
2. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP).
               Lintas ekivalen permulaan adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada awal umur rencana. Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983) :
LEP = å LHR x C x E..…………………………………………………..(3.6)
Dimana :                                             
LHR = Lalu lintas harian rata-rata
C       = Koefisien distribusi kendaraan
E       = Angka ekivalen masing masing kendaraan

3.  Lintas Ekivalen Akhir (LEA).
     Lintas ekivalen akhir adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana. Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983):
LEA         =  å(1 +i) UR x C x E …………………………………………..(3.7)
UR           =  Umur rencana
i.               =  Pertumbuhan lalu lintas
               4.   Lintas Ekivalen Tengah (LET).
      Lintas ekivalen tengah adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana. Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983) :
LET = å(LEP + LEA) ……………………………………….…………..(3.8)
                              2
            5.   Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Lintas ekivalen rencana adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana. Dihitung dengan rumus (Bina Marga,1983) :
                    LER = LET X FP……………….. ……………..….……………………..(3.9)
                    Dimana :
FP            = Faktor penyesuaian ditentukan
FP            = UR / 10
UR           = Umur Rencana
2.1.8    Indeks Tebal Perkerasan Perlu (  ITP perlu).
Diperhitungkan berdasarkan data daya dukung tanah, factor regional, dan indeks permukaan pada awal umur rencana, untuk indeks permukaan pada awal umur rencana dapat dilihat pada table.

      2.5.9    Indeks Tebal Perkerasan ada ( ITP  ada).
            Merupakan suatu penilaian terhadap kondisi lapisan-lapisan perkerasan yang ada berdasarkan penyelidikan di Laboratorium hasil dari tes pit.Dari data tersebut diatas maka perhitungan tebal pelapisan tambahan  ( overlay ) dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Bina Marga,1983):
ITP sisa           = ITP perlu – ITP ada …………………...…………………….... (3.10)
Dengan      =
ITP sisa          = Indeks Tebal Perkerasan Akhir
ITP perlu      = Indeks Tebal Perkerasan
ITP ada          = Indeks Tebal Perkerasan Ada


              Tabel 2.8 Koefisien kekuatan relatif perkerasan jalan lama.

Koef Kekuatan Relatif
Kekuatan Bahan

Jenis Bahan

MS
(kg)
KT
(kg/cm2)
CBR
( % )
a1
a2
a3
0.40
0.35
0.32
0.30
0.35
0.31
0.28
0.26
0.30
0.26
0.25
0.20













0.28
0.26
0.24
0.23
0.19
0.15
0.13
0.15
0.13
0.14
0.12
0.14
0.13
0.12


























0.13
0.12
0.11
0.10

744
590
454
340
744
590
454
340
340
340


590
454
340
























22
18
22
18

























100
60
100
80
60
70
50
30
20


LASTON



Asbuton


Hot Rolled Sheet
Aspal Macadam
LAPEN ( Mekanis )
LAPEN ( Manual )

LASTON ATAS

LAPEN (Mekanis)
LAPEN (Manual)
Stab. Tanah dengan Semen

Stab. Tanah dengan Kapur

Pon. Macadam (Basah)
Pon. Macadam (Kering)
Batu Pecah (Kelas A)
Batu Pecah (Kelas B)
Batu Pecah (Kelas C)
Sirtu/Pitrun (Kelas A)
Sirtu/Pitrun (Kelas B)
Sirtu/Pitrun (Kelas C)
Tanah/Lempung Kepasiran

Sumber : Pedoman Penentuan Tebal perkerasan Lentur Jalan Raya, Badan Penerbit PU,1983, Jakarta.



Curah Hujan
Kelandaian I
Kelandaian II
Kelandaian III
(< 6 %)
(6 – 10 %)
(> 10 %)
% kendaraan berat
% kendaraan berat
% kendaraan berat
£ 30 %
> 30 %
£ 30 %
> 30 %
£ 30 %
> 30 %
Iklim I
0,5
1,0 – 1,5
1,0
1,5 – 2,0
1,5
2,0 – 2,5
< 900 mm/th
Iklim II
1,5
2,0 – 2,5
2,0
2,5 – 3,0
2,5
3,0 – 3,5
> 900 mm/th

 




















Istilah-istilah desain Tebal perkerasan beton aspal cara bina marga ‘87

Jalur rencana
:
Salah satu jalur lalu-lintas dari suatu sistim jalan raya yang menampung lalu-lintas tersebut.



Umur rencana
(ur)
:
Jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka untuk lalu-lintas sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan yang baru



Indeks permukaan
(ip)
:
Suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan kerataan/ kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat



Lalu-lintas harian rata-rata (lhr)
:
Jumlah rata-rata lalu-lintas kendaraan bermotor roda 4 atau lebih yang dicatat selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan



Angka ekivalen (e)
:
Angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal 8,16 ton (18000 lb).



Lintas ekivalen permulaan (lep)
:
Jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada permulaan umur rencana



Lintas ekivalen akhir (lea)
:
Jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana



Lintas ekivalen tengah (let)
:
Jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana



Lintas ekivalen rencana (ler)
:
Suatu besaran yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada lajur rencana.
Lapis permukaan
:
Bagian perkerasan yang paling atas



Daya dukung tanah dasar (ddt)
:
Suatu skala yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar



faktor regional (fr)
:
Faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan



indeks tebal perkerasan (itp)
:
Suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan

 







 

BAGAN ALIR  DESAIN TEBAL PERKERASAN BETON ASPAL

CARA BINA MARGA ‘87




Kekuatan tanah dasar
Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)


Faktor Regional (FR)
n  Intensitas curah hujan
n  Kelandaian jalan
n  % kendaraan berat
n  Pertimbangan teknis


Beban lalu-lintas
LER pada lajur rencana


Konstruksi bertahap atau tidak dan
Pentahapannya

Indeks permukaan
Awal               IPo
Akhir               IPt
Jenis
 lapisan
 perkerasan





                                               MULAI


                                         Input parameter
                                                 desain

 

                                  konstruksi
                                              bertahap
                                                    ?


                              ya                                         tidak


       
Tentukan ITPt                        Tentukan ITP
                 Tahap I                                selama UR


         
Tentukan ITP1&2
               untuk Tahap I
                dan Tahap II




           
koefisien                          koefisien
                kekuatan                          kekuatan
                relatif                               relatif

                                           
SELESAI



INDEK TEBAL PERKERASAN ( ITP )

D1

D2

D3
surface

base

    subbase

subgrade

 







ITP diatas subgrade  = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3
ITP diatas subbase   = a1 D1 + a2 D2 
ITP diatas base                  = a1 D1
bila, Di <          D minimum maka, Di       = D minimum




2.2     AGREGAT
     2.2.1      Pengertian Agregat Dalam Kontruksi Perkerasan Jalan.
l  Menurut Silvia Sukirman, (2003), agregat merupakan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen.
l  Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu yaitu 90 – 95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75 –85% agregat berdasarkan persentase volume.
Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.
2.2.2      Sifat Agregat
l  Sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan jalan memikul beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca.
l  Sifat agregat yang menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan adalah:
l   gradasi,
l  kebersihan,
l  kekerasan
l  ketahanan agregat,
l   bentuk butir,
l  tekstur permukaan,
l  porositas,
l   kemampuan untuk menyerap air,
l   berat jenis, dan
l  daya kelekatan terhadap aspal.
l  Sifat agregat tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis batuannya.
2.2.3      Klasifikasi Bentuk dan Tekstur Agregat
Karakteristik bagian luar agregat, terutama bentuk partikel dan tekstur permukaan memegang peranan penting terhadap sifat beton segar dan yang sudah mengeras.
                   Menurut BS 812 : Part 1: 1975, bentuk partikel agregat dapat dibedakan atas:
Ø  Rounded
Ø  Irregular
Ø  Flaky
Ø  Angular
Ø  Elongated     
Ø  Flaky & Elongated
Rounded         Irregular          Angular              Flaky            Elongated        Flaky and
                                                                                                                        Elongated

Bentuk Partikel Agregat Menurut BS 812 : Part 1: 1975






2.2.4           Jenis Agregat Menurut Asal Kejadiannya
     Batuan Beku (igneous rock)
Batuan yang berasal dari magma yang mendingin dan membeku. Dibedakan atas batuan beku luar (extrusive igneous rock) dan batuan beku dalam (intrusive igneous rock).
     Batuan Sedimen
Berasal dari campuran partikel mineral, sisa hewan dan tanaman. Pada umumnya merupakan lapisan-lapisan pada kulit bumi, hasil endapan di danau, laut dan sebagainya.
     Batuan Metamorfik
Berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur dari kulit bumi.
     2.2.5    Jenis Agregat berdasarkan proses pengolahannya :
     Agregat Alam
Agregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya di alam atau dengan sedikit proses pengolahan. Agregat ini terbentuk melalui proses erosi dan degradasi. Bentuk partikel dari agregat alam ditentukan proses pembentukannya.
     Agregat melalui proses pengolahan
Digunung-gunung atau dibukit-bukit, dan sungai-sungai sering ditemui agregat yang masih berbentuk batu gunung, dan ukuran yang besar-besar sehingga diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai agregat konstruksi jalan.
     Agregat Buatan
Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan ukuran < 0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen atau mesin pemecah batu.
2.2.6    Pembagian Agregat Berdasarkan Ukuran Butiran Menurut The Asphalt Institut, (1993), dalam Manual Series No. 2 (MS-2)
     Agregat Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan No. 8 (2,36 mm)
     Agregat Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih halus dari saringan No.8 (2,36 mm).
     Bahan Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos saringan no. 30 (0,06 mm)
2.2.7    Klasifikasi Agregat
                 Berdasarkan ASTM C-33, agregat dibagi atas dua kelompok, yaitu:
1.         Agregat Kasar : Batas bawah pada ukuran 4.75 mm atau ukuran saringan    no.4 (ASTM)
2.        Agregat Halus : Batas bawah ukuran pasir = 0.075 mm (no. 200) Batas atas ukuran pasir = 4.75 mm (no. 4)

Persyaratan Agregat Kasar :
Pengujian
Standar
Nilai
Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium
SNI 03-3407-1994
Maks 12 %
Abrasi dengan mesin Los Angeles
SNI 03-2417-1991
Maks 40 %
Kelekatan agregat terhadap aspal
SNI 03-2439-1991
Min 95 %
Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10 cm )
DoT’s Pennsylvania Test Method, PTM No. 621
95/90
Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ 10 cm )
80/75
Partikel pipih
ASTM D-4791
Maks 25 %
Partikel lonjong
ASTM D-4791
Maks 10 %
Material lolos saringan no. 200
SNI 03-4142-1996
Maks 1 %
Aggregate Impact Value (AIV)
BS 812:part 3:1975
Maks 30%
Berat Jenis dan Penyerapan
SNI 03-1969-1990
Maks 3%

Persyaratan Agregat Halus
Pengujian
Standar
Nilai
Material mengandung bahan plastis dengan cara setara pasir
SNI 03-4428-1997
Maks 8%
Berat jenis agregat halus
SNI 03-1970-1990
Maks 2,5%
Penyerapan
Maks 3%
Material lolos saringan No.200
SNI 03-4428-1997
Maks 8%

Persyaratan Bahan pengisi ( filler )
Pengujian
Standar
Nilai
Lolos saringan N0.200
SNI 03 M-02-1994-03
Min 75%
Bebas dari bahan organik
Maks 4%

2.2.8    Pembagian Agregat Berdasarkan Ukuran Butiran Menurut Sedangkan Bina Marga, (2002)
        Agregat Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan No. 4 (4,75 mm)
        Agregat Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih halus dari saringan No.4 (4,75 mm).
        Bahan Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos saringan no. 200 (0,075 mm)
2.2.9    Gradasi Agregat
        Gradasi agregat adalah susunan dari beberapa ukuran butiran agregat yang membentuk suatu campuran agregat yang terdiri dari beberapa fraksi agregat
                 Jenis Gradasi
1.         Gradasi Baik
2.         Gradasi buruk
     Gradasi baik, adalah campuran agregat dengan  ukuran butiran yang terdistribusi merata dalam rentang ukuran butiran.
     Agregat bergradasi baik disebut juga dengan agergat bergradasi rapat.
     Agregat bergardasi baik dapat dikelompokkan menjadi :
1.         Agregat bergradasi kasar, adalah agregat bergradasi baik yang didominasi oleh agregat ukuran butiran kasar
2.         Agregat bergradasi halus, adalah agregat bergradasi baik yang dinominasi oleh agregat ukuran butiran halus.
     Gradasi Buruk, adalah distrubusi ukuran agregat yang tidak memenuhi persyaratan agregat bergradasi baik.
     Agregat bergradasi buruk  dapat dikelompokkan menjadi;
      Gradasi Seragam, adalah campuran agregat yang tersusun dari agregat dengan ukuran butirannya sama atau hampir sama.
      Gradasi Terbuka, adalah campuran agregat dengan distribusi ukuran butiran sedemikian rupa sehingga pori-pori antar agregat tidak terisi dengan baik.
      Gradasi Senjang, adalah campuran agregat yang ukuran butirannya terdistribusi tidak menerus, atau ada bagian yang hilang.
Ø  Grafik Gradasi Menerus



Ø  Gradasi Menerus
 









2.2.10         Metodeh Pencampuran Agregat
1.         Metoda Matematis/Matriks
2.         Metoda Grafis Segi Empat
3.         Metoda Grafis Segi Tiga
Catatan Metodeh Matriks
            Cara matriks ini tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Misalnya didapat harga B = - 24% (negatif).
            Bila hal tersebut terjadi, ulangi perhitungan dengan membuat sub kelompok bagian gradasi yang berlainan.
            Ulangi cara perhitungan sampai semua hasilnya memuaskan (tidak ada persentasi hasil yang negatif).
2.3     PARAMETER PERENCANAAN LAPISAN KONSTRUKSI JALAN
     2.3.1    Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi jalan
     Fungsi dan kelas jalan
     Kinerja Perkerasan
     Umur Rencana
     Beban Lalu lintas
     Sifat dan daya dukung Tanah dasar
     Kondisi Lingkungan
     Sifat dan ketersediaan bahan konstruksi jalan
     Bentuk geometrik jalan
     2.3.2      Kinerja Perkerasan jalan
     Keamanan, ditentukan berdasarkan gesekan akibat adanya kontak antara ban dan permukaan jalan
     Wujud Perkerasan
     Fungsi pelayanan
Wujud perkerasan dan fungsi pelayanan umumnya satu kesatuan yag digambarkan dengan “Kenyamanan mengemudi (riding quality)”
Kinerja perkerasan dapat dinyatakan dengan :
Ø  Indeks permukaan / serviceability index
Indeks Permukaan (IP)
Fungsi Pelayanan
4 -5
3 – 4
2 -3
1 – 2
0 -1
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat

Ø  Indeks kondisi jalan / road condition index
RCI
Kondisi permukaan jalan secara visuil
8 – 10
7 – 8
6 – 7
5 – 6

4 – 5
3 – 4
2 – 3
≤2
Sangat rata dan teratur
Sangat baik, umumnya rata
Baik
Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang, tetapi permukaan jalan tidak rata
Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak rata
Rusak, bergelombang, banyak lubang
Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan hancur
Tidak dapat dilalui, kecuali dengan 4 WD jeep

2.3.3    Tingkat kenyamanan ditentukan berdasarkan anggapan ;
     Jalan disediakan untk memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan
     Kenyamanan sebenarnya merupakan faktor subjektif
     Kenyamanan berkaitan dengan bentuk fisik perkerasan yang dapat diukur secara objektif
     Wujud perkerasan juga dapat dapat diperolehdarisejarah perkerasan jalan
     Pelayanan jalan dapat dinyatakan sebagai nilai rata-rata yang diberikan oleh sipemakai jalan.
Ø Kondisi Lingkungan dan pengaruhnya terhadap konstruksi perkerasan jalan
1.         Mempengaruhi sifat teknis konstruksi perkerasan dan komponen material perkerasan
2.         Pelapukan bahan meterial
3.         Mempengaruhi penurunan tingkat pelayanan dan tingkat penyamanan perkerasan jalan.
Ø Faktor Lingkungan Yang mempengaruhi
1.         Air Tanah dan hujan, adanya aliran air disekitar badan jalan mengakibatkan perembesan air ke badan jalan yang mengakibatkan perlemahan ikatan antar butiran agregat dengan aspal, dan perubahan kadar air akan mempengaruhi daya dukung tanah dasar.
2.         Kemiringan medan, untuk mempercepat pengaliran air.
3.         Perubahan temperatur, bahan aspal adalah meterial termo plastis.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1       JENIS, FUNGSI DAN LAPISAN PERKERASAN JALAN
Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat atau suatu lapisan tambahan yang diletakkan diatas jalur “jalan tanah” dimana lapisan tambahan tersebut terdiri dari bahan material yang lebih keras/kaku dari tanah dasarnya, dengan tujuan agar jalan tersebut dapat dilalui oleh kendaraan berat dalam segala cuaca
Perkerasan jalan beton aspal (Asphalt Pavement), yaitu perkerasan jalan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
Perkerasan Beton Aspal = Perkerasan Lentur(Flexible Pavement).
 Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
a)         Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
b)        Konstruksi perkerasan kaku (Rigit Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
c)         Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.
Konsep Dasar Perkerasan Jalan
1.         Mempunyai tebal total yang cukup.
2.         Mampu mencegah masuknya air, baik dari luar maupun dari dalam.
3.         Mempunyai permukaan yang rata, tidak licin, awet terhadap distorsi oleh lalu-lintas dan cuaca.
Konsep Dasar Desain lapisan Perkerasan Jalan
1.         Memperbaiki / meningkatkan harga CBR dari subbase ataupun base course, dengan bahan yang lebih baik.
2.         Meng-improve (memperbaiki mutu) lapis tanah dasar dengan cara :
       - Stabilisasi kimia
       - Stabilisasi mekanis
       - Menimbun tanah dasar asli dengan bahan tanah           timbunan yang lebih baik (CBR yang lebih tinggi).
3.         Mempertebal lapisan subbase maupun base course.
Jenis Perkerasan Jalan
4.         Perkerasan Lentur
a.          Perkerasan JAPAT/AWCAS
b.         Perkerasan Tellford
c.          Perkerasan Macadam (Makadam)
d.         Perkerasan Beton Aspal
e.          Perkerasan Paving Block
5.         Perkerasan kaku
        Perkerasan Beton Semen
        Perkerasan Komposit (perkerasan beton  semen dan permukaan aspal)

3.         Perkerasan Komposit

3.1.1      Perbandingan Perkerasan Beton Aspal & Beton Semen
a.         Perkerasan Beton Aspal
            Bila dibebani melentur ; beban hilang, lenturan kembali.
            Fungsi perkerasan terutama sebagai penyebar tegangan dari roda kendaraan langsung ke tanah dasar.
            Biaya perkerasan relatif lebih murah.
            Pemeliharaan harus teratur dan kontinyu berkala ; biaya pemeliharaan relatif lebih mahal.
            Bahan aspal dan material lapis pondasi akan mudah rusak bila jalan tergenang air (banjir).
            Lapisan perkerasan dapat menerima perbedaan penurunan (differential settlement) yang agak besar dari tanah dasar.

b.         Perkerasan Beton Semen

1.         Bila dibebani, praktis tidak melentur (lenturan kecil)
2.         Fungsi perkerasan terutama untuk mendukung sebagian besar beban roda kendaraan.
3.         Biaya perkerasan relatif mahal.
4.         Pemeliharaan minimal dan biaya pemeliharaan relatif murah.
5.         Bahan beton perkerasan tidak begitu terpengaruh oleh adanya genangan air (banjir).
6.         Lapisan perkerasan tidak dapat menerima perbedaan penurunan yang agak besar dari tanah dasar. Sebaiknya, problema penurunan tanah dasar harus telah diselesaikan dahulu.


3.1.2      Sistem Perencanaan Jalan
Perencanaan Konstruksi Perkerasan dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru dan untuk peningkatan / lapis perkerasan tambahan ( Overlay ). Dalam penelitian ini perencanaan jalan baru dan lapis perkerasan tambahan ( overlay ). Dihitung dengan menggunakan metodeh Analisa komponen atau cara Bina Marga.
1.      Perencanaan jalan Baru
Pada Sistem Perencanaan jalan Baru, perhitungan tebal perkerasan dilakukan secara ekonomis tetapi harus tetap dapat memenuhi nilai kekuatan structural yang dibutuhkan oleh jalan tersebut, harus dapat mengantisipasi perkembangan lalu lintas dan ramah lingkungan. Diindonesia perhitungan perencanaan jalan baru  dapat menggunakan metodeh Bina Marga, Karena sesuai dengan Kondisi diindonesia yaitu untuk keadaan alam, lingkungkungan, sipat tanah dasar dan jenis perkerasan yang umumnya di Pakai di Indonesia.
2.      Perencanaan Lapis Perkerasan Tambahan ( Overlay )
Pada Konstruksi jalan yang telah habis masa pelayanannya dan telah melampaui indeks permukaan akhiir yang diharapkan, maka perlu diberikan lapis perkerasan tambahan untuk dapat kembali mempunyai nilai kekuatan Struktural. Selain itu untuk meningkatkan tingkat keamanan mpermeable / kedap air dan tingkat kenyamanan. Sama halnya dengan perencanaan jalan baru, pada penelitian ini perhitungan tebal perkerasan tambahan menggunakan metodeh Bina Marga yaitu metodeh analisa Komponen (SKBI 2.3.26.1987 )

3.2              STRUKTUR PERKERASAN
Pada umumnya, perkerasan jalan terdiri dari beberapa jenis lapisan perkerasan yang tersusun dari bawah ke atas,sebagai berikut :
1.      Lapisan tanah dasar (sub grade)
2.      Lapisan pondasi bawah (subbase course)
3.      Lapisan pondasi atas (base course)
4.      Lapisan permukaan / penutup (surface course)
1

                                                                                                                  2


                                                                                                                  3

                                                                                                                  4

Gambar 3.5 Perkerasan jalan
Keterangan
1.      Lapisan Permukaan (surface course)
2.      Lapisan Pondasi Atas ( Base Course )
3.      Lapisan Pondasi Bawah (sub base course)
4.      Tanah Dasar ( Subgrade )

Terdapat beberapa jenis / tipe perkerasan terdiri :
1.    Flexible pavement (perkerasan lentur).
2.    Rigid pavement (perkerasan kaku).
3.    Composite pavement (gabungan rigid dan flexible pavement).

3.2.1             Perkerasan Lentur
              Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).
              Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini dapat diatasi / dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan langkah-langkah yang baik dalam proses pelaksanaan.Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk
menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.

Jenis dan fungsi lapisan perkerasan
      Lapisan perkerasan jalan berfungsi untuk menerima beban lalu-lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya terus ke tanah dasar.

1.      Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
                    Lapisan tanah dasar adalah lapisan tanah yang berfungsi sebagai tempat perletakan lapis perkerasan dan mendukung konstruksi perkerasan jalan diatasnya. Menurut Spesifikasi, tanah dasar adalah lapisan paling atas dari timbunan badan jalan setebal 30 cm, yang mempunyai persyaratan tertentu sesuai fungsinya, yaitu yang berkenaan dengan kepadatan dan daya dukungnya (CBR).Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya baik, atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain atau tanah yang distabilisasi dan lain lain.
                          Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR (Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.MR (psi) = 1.500 x CBR
      Persoalan tanah dasar yang sering ditemui :
1.      Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat beban lalu-lintas.
2.      Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
3.      Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan konstruksi.
4.      Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis tanah tertentu.
5.      Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.
      Ditinjau dari muka tanah asli, maka lapisan tanah dasar dibedakan atas :
Ø  Lapisan tanah dasar, tanah galian.
Ø  Lapisan tanah dasar, tanah urugan.
Ø  Lapisan tanah dasar, tanah asli.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalu lintas.
• Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
• Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat tanah pada lokasi yang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan misalnya kepadatan yang kurang baik.

2.      Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak di atas lapisan tanah dasar dan di bawah lapis pondasi atas.atau bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi.
Fungsi dari lapisan Pondasi Bawah antara lain yaitu :
a.       Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
b.      Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
c.       Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.
d.      Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda-roda alat berat (akibat lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal-awal pelaksanaan pekerjaan.
e.       Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca terutama hujan.
f.       Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi).
g.      Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
h.      Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.

            Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland, dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

3.      Lapisan pondasi atas (base course)
Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan atau bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar.
ü  Lapisan pondasi atas ini berfungsi sebagai :Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
ü  Bantalan terhadap lapisan permukaan.Bahan-bahan untuk lapis pondasi atas ini harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda.Dalam penentuan bahan lapis pondasi ini perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain, kecukupan bahan setempat, harga, volume pekerjaan dan jarak angkut bahan ke lapangan.
ü  Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.
ü  Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen, aspal, pozzolan, atau kapur.

4.      Lapisan Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan adalah lapisan yang bersentuhan langsung dengan beban roda kendaraan. Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapisasan pondasi Atas (base course).Lapisan permukaan ini berfungsi sebagai :
a.       Lapisan yang langsung menahan akibat beban roda kendaraan.
b.      Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.
c.       Sebagai lapisan aus (wearing course)
d.      Lapisan yang langsung menahan gesekan akibat rem kendaraan (lapis aus).
e.       Lapisan yang mencegah air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut.
f.       Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan di bawahnya.Apabila dperlukan, dapat juga dipasang suatu lapis penutup / lapis aus (wearing course) di atas lapis permukaan tersebut.
Fungsi lapis aus ini adalah sebagai lapisan pelindung bagi lapis permukaan untuk mencegah masuknya air dan untuk memberikankekesatan (skid resistance) permukaan jalan. lapisan aus tidak diperhitungkan ikut memikul beban lalu lintas.
Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
3.2.1.1    Kriteria Perkerasan Lentur
Guna dapat memberikan rasa aman,nyaman,lancar, efesien, ramah lingkungan serta ekonomis si pemakai jalan ( Sukirman, 1999 ), maka konstruksi perkerasan haruslah memenuhi syarat – syarat tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu syarat – syarat berlalu lintas dan syarat – syarat kekuatan Struktural.
1.      Syarat – Syarat Berlalu Lintas
Konstruksi Perkerasan Lentur dipandang dari keamanan dan kenyamanan berlalu lintas haruslah memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
a.       Permukaan yang rata tidak bergelombang, tidak melandut dan tidak berlubang
b.      Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban yang bekerja diatasnya.
c.       Permukaan cukup kasat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan permukaan jalan sehingga tidak mudah lesip
d.      Permukaan tidak mengkilap tidak silau jika kena sinar matahari.
2.      Syarat – syarat Kekuatan Struktural
Konstruksi perkerasan jalan dipandang dari segi kemampuan memikul dan menyebarkan beban, haruslah memenuhi syarat – syarat :
a.       Ketebalan yang cukup Sehinga Mampu Menyebarkan Beban atau muatan dan lintas ketanah dasar.
b.      Kedap terhadap air Sehingga air tidak mudah meresap kelapisan bawahnya
c.       Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi yang berarti.
Untuk dapat memenuhi hal – hal tersebut diatas perencanaan dan pelaksanaan Konstruksi perkerasan lentur jalan haruslah mencangkup:
4.             Daya Dukung Tanah Dasar
Dengan Memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu lintas yang akan dipikulnya, keadaan lingkungan, jenis lapisan yang dipilih, dapat ditentukan tebal masing – masing lapisan berdasarkan lapisan yang ada.
5.             Analisa Campuran Bahan
Dengan memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat yang tersedia, Direncanakan suatu susunan campuran tertentu sehingga terpenuhi spesipikasi dari jenis lapisan yang dipilih.
6.             Pengawasan Pelaksanaan Pekerjaan
Perencanaan tebal perkerasan yang baik, susunan campuran yang memenuhi syarat, belum dapat menjamin dihasilkannya lapisan perkerasan yang memenuhi apa yang diinginkan jika tidak dilakukan pengawasan pelaksanaan yang cermat mulai dari tahap penyiapan lokasi dan material sampai tahap pencampuran atau penghamparan dan akhirnya pada tahap pemadatan dan pemeliharaan.
Disamping itu Sistem pemeliharaan yang terencana dan tepat selama umur pelayanan, termasuk didalamnya system drainase jalan tersebut.



3.2.1.2       Sifat Perkerasan Lentur Jalan
Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai:
a.         Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan agregat dan antara aspal itu sendiri.
b.         Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang ada dari agregat itu sendiri.
Dengan demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh) terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat elastis yang baik.
a.          Daya tahan (durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor pelaksanaan dan sebagainya.
b.         Adhesi dan Kohesi
Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi pengikatan.
c.          Kepekaan terhadap temperature
Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperature bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis yang sama.
d.         Kekerasan aspal
Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah tinggi). Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai. Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi dan polimerisasi yang besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

3.2.1.3       Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan
Kerusakan pada konstruksi perkerasan lentur dapat disebabkan oleh:
a.       Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.
b.      Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik dan naiknya air akibat kapilaritas.
c.       Material konstruksi perkerasan. Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan bahan yang tidak baik.
d.      Iklim, Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi, yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan.
e.       Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh system pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah dasarnya yang memang kurang bagus.
f.       Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.
                                                Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling berkaitan. Sebagai contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dengan agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya.
3.2.1.4    Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur
Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari kondisi kerusakan fungsional dan struktural. Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan.Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat atau tingkat kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar.
1.    Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga
Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur dapat dibedakan atas:
a.         Retak (cracking)
b.        Distorsi (distortion)
c.         Cacat permukaan (disintegration)
d.        Pengausan ( polished aggegate)
e.         Kegemukan (bleeding / flushing)
f.         Penurunan pada bekas penanaman utilitas

a.      Retak (Cracking) dan penanganannya
Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas :
1.      Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama dengan 3 mm, penyebab adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak halus ini dapat meresapkan air ke dalam permukaan dan dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah seperti retak kulit buaya bahkan kerusakan seperti lubang dan amblas. Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang, dimana retak memanjang terjadi pada arah sejajar dengan sumbu jalan, biasanya pada jalur roda kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau pelebaran, sedangkan untuk retak melintang terjadi pada arah memotong sumbu jalan, dapat terjadi pada sebagian atau seluruh lebar jalan.
Metode pemeliharaan dan penanganan :
a.       Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan renggang, dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat).
b.      Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan rapat, dilakukan
metode perbaikan P3 (penutupan retak).
c.       Untuk lebar retakan (> 2 mm) lakukan perbaikan P4 (pengisian retak).
Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada gaambar dibawah ini.






Gambar 3.6 Retak Halus
2.    Retak kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapisan permukaan kurang stabil, atau bahan pelapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah naik). Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalu lintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Retak kulit buaya dapat diresapi oleh air sehingga lama kelamaan akan menimbulkan lubang-lubang akibat terlepasnya butir-butir. Untuk retak kulit buaya dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat) dan P5 (penambalan lubang/patching) sesuai dengan tingkat kerusakan retak yang terjadi. Urutan pelaksanaan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.Perbaikan juga harus disertai dengan perbaikan drainase disekitarnya, sehingga nantinya air tidak tergenang di badan jalan yang dapat mempengaruhi umur jalan.






Gambar 3.7 Retak Kulit Buaya
3. Retak pinggir (edge crack), retak memanjang jalan, dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu. Retak ini disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin merusak lapisan permukaan. Retak dapat diperbaiki dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan, bahu diperlebar dan dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami penurunan, elevasi dapat diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak ini lama kelamaan akan bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang-lubang.







Gambar 3.8 Retak Pinggir
4. Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack), retak memanjang, umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk daripada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk / kendaraan berat dibahu jalan. Perbaikan dapat dilakukan seperti perbaikan retak refleksi.







Gambar 3.9 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan
5.  Retak sambungan jalan (lane joint cracks), retak memanjang, yang terjadi pada sambungan 2 lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya ikatan sambungan kedua lajur. Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan campuran aspal cair dan pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak diperbaiki, retak dapat berkembang menjadi lebar karena terlepasnya butir-butir pada tepi retak dan meresapnya air ke dalam lapisan.
6.  Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan daya dukung di bawah bagian pelebaran dan bagian jalan lama, dapat juga disebabkan oleh ikatan antara sambungan tidak baik. Perbaikan dilakukan dengan mengisi celah-celah yang timbul dengan campuran aspal cair dan pasir. Jika tidak diperbaiki, air dapat meresap masuk ke dalam lapisan perkerasan melalui celah-celah, butir-butir dapat lepas dan retak dapat bertambah besar.









Gambar 3.10 Retak Sambungan Pelebaran Jalan

7. Retak refleksi (reflection cracks), retak memanjang, melintang, diagonal atau membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang menggambarkan pola retakan dibawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan overlay dilakukan. Retak refleksi dapat pula terjadi jika terjadi gerakan vertical / horizontal dibawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar air pada jenis tanah yang ekspansif. Untuk retak memanjang, melintang dan diagonal perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir. Untuk retak berbentuk kotak perbaikan dilakukan dengan membongkar dan melapis kembali dengan bahan yang sesuai.







Gambar 3.11 Retak Refleksi
7.Retak susut (shrinkage cracks), retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak besar dengan susut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. Perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir serta dilapisi dengan burtu.









Gambar 3.12 Retak Susut
9. Retak slip (slippage cracks), retak yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antar lapis permukaan dan lapis dibawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan oleh adanya debu, minyak air, atau benda non adhesive lainnya, atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat antar kedua lapisan. Retak selip pun dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapisan permukaan, atau kurang baiknya pemadatan lapisan permukaan. Perbaikan dapat dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dengan dan menggantikannya dengan lapisan yang lebih baik.





Gambar 3.13 Retak Slip
b.   Distorsi (distortion)
Distorsi / perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas. Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan terlebih dahulu jenis dan penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat ditentukan jenis penanganan yang tepat. Distorsi dapat dibedakan atas :
1.    Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat pula menimbulkan deformasi plastis.Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6 (perataan) untuk kerusakan alur ringan. Untuk kerusakan alur yang cukup parah dilakukan perbaikan P5 (penambalan lubang) yang pelaksanaan serta bahan dan peralatannya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :







Gambar 3.14 Alur
2.    Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya lapisan permukaan yang berkeriting ini pengemudi akan merasakan ketidaknyamanan dalam mengemudi. Penyebab kerusakan ini adalah rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk butiran dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunyai penetrasi yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair). Perbaikan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6 (perataan) dan juga perbaikan P5 (penambalan lubang) jika keriting juga disertai dengan timbulnya lubang-lubang pada permukaan jalan.Kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan :
a.    Jika lapis permukaan yang berkeriting itu memiliki lapisan pondasi agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengaruk kembali, dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis permukaan baru.
b.    Jika lapis permukaan dengan bahan pengikat memiliki ketebalan > 5 cm, maka lapis tipis yang mengalami keriting tersebut diangkat dan diberi lapis permukaan yang baru.












Gambar 3.15 Keriting

3.    Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, ditempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan terjadi dengan atau tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan keriting. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara perbaikan P6 (perataan) dan perbaikan P5 (penambalan lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :










Gambar
3.16 Sungkur

4.    Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air yang tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan permukaan yang akhirnya menimbulkan lobang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement. Perbaikan dapat dilakukan dengan :
ü  Untuk amblas yang < 5cm, lakukan metode perbaikan P6 (perataan).
ü  Untuk amblas yang > 5 cm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan lubang).
ü  Periksa dan perbaiki selokan dan gorong-gorong agar air lancar mengalir.
ü  Periksa dan perbaiki bahu jalan yang mengalami kerusakan.
ü  Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :







Gambar 2.17 Amblas
5.    Jembul (upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah yang ekspansif. Perbaikan dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisnya kembali.
c.    Cacat permukaan (disintegration
Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :
1.        Lubang (potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai besar. Lubang-lubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan. Lubang dapat terjadi karena :
a.        Campuran material lapis permukaan jelek, seperti :
ü  Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
ü  Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.
ü  Temperatur campuran tidak memenuhi persyaratan
b.        Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat pengaruh cuaca.
c.         Sistem drainase jelek, sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul pada lapis permukaan.
d.        Retak-retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air meresap masuk dan mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.
 Lubang-lubang tersebut diperbaiki dengan cara:
ü  Untuk lubang yang dangkal ( < 20 mm ), lakukan metode perbaikan P6 (perataan).
ü  Untuk lubang yang > 20 mm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :









Gambar 3.18 Lubang

2.        Pelepasan butir (raveling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek serta disebabkan oleh hal yang sama dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan memberikan lapisan tambahan diatas lapisan yang mengalami pelepasan butir setelah lapisan tersebut dibersihkan, dan dikeringkan.









Gambar
3.19 Pelepasan Butiran
3.        Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh kurangnya ikatan antar lapisan permukaan dan lapis dibawahnya, atau terlalu tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki dengan cara digarus, diratakan dan dipadatkan. Setelah itu dilapis dengan buras.
d.      Pengausan (polished aggregate)
Permukaan menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk cubical. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan latasir, buras, atau latasbum.











Gambar
3.20 Pengausan
e.             Kegemukan (bleeding / flushing)
            Permukaan jalan menjadi licin dan tampak lebih hitam. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda. Berbahaya bagi kendaraan karena bila dibiarkan, akan menimbulkan lipatan-lipatan (keriting) dan lubang pada permukaan jalan. Kegemukan (bleeding) dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pekerjaan prime coat atau tack coat. Dapat diatasi dengan penanganan P1 (Penebaran Pasir) yaitu dengan menaburkan agregat panas dan kemudian dipadatkan, atau lapis aspal diangkat dan kemudian diberi lapisan penutup.





Gambar 3.21 Kegemukan
f.    Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas
Penurunan yang terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diperbaiki dengan dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang sesuai.







Gambar 3.22 Penurunan pada bekas penanaman utilitas
2.    Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Pavement Condition  Index (PCI)
Menurut Metode Pavement Condition Index (PCI), jenis dan tingkat kerusakan perkerasan lentur jalan raya dibedakan menjadi :
a.  Alligator Cracking
Retak yang saling merangkai membentuk kotak – kotak kecil yang menyerupai kulit buaya. Kerusakan ini disebabkan karena konstruksi perkerasan yang tidak kuat dalam mendukung beban lalu lintas yang berulang ulang. Pada mulanya terjadi retak – retak halus, akibat beban lalu lintas yang berulang menyebabkan retak – retak halus terhubung membentuk serangkaian kotak – kotak kecil yang memiliki sisi tajam sehingga menyerupai kulit buaya. Retak buaya biasa terjadi hanya di daerah yang dilalui beban lalu lintas yang berulang dan biasanya disertai alur, sehingga tidak akan terjadi di seluruh daerah kecuali seluruh area jalan dikenakan arus lalu lintas. Cara mengukur kerusakan yang terjadi adalah dengan menghitung luasan retak.
Tingkat kerusakan alligator cracking (retak kulit buaya) dibagi menjadi kerusakan ringan (low) yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa ada retakan yang pecah, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah, dan kerusakan berat (high) yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.
b.  Bleeding
Kegemukan (bleeding) biasanya ditandai dengan permukaan jalan yang menjadi lebih hitam dan licin. Permukaan jalan menjadi lebih lunak dan lengket. Ini disebabkan pemakaian aspal yang berlebih. Cara mengukur kerusakan adalah dengan menghitung luasan kegemukan yang terjadi.Tingkat kerusakan dibagi menjadi kerusakan ringan (low) yang ditandai dengan permukaan jalan yang hitam, aspal tidak menempel pada roda kendaraan, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan permukaan aspal hitam, aspal menempel pada kendaraan selama beberapa minggu dalam setahun, kerusakan berat (high) yang di tandai dengan permukaan yang berwarna hitam dan terdapat jejak roda kendaraan akibat aspal yang menempel pada roda kendaraan.
c.  Block Cracking
Hampir sama dengan retak kulit buaya, merupakan rangkaian retak berbentuk persegi dengan sudut tajam, tetapi bentuknya saja yang lebih besar dari retak kulit buaya. Block craking ini tidak hanya terjadi di daerah yang mengalami arus lalu lintas berulang, tetapi juga dapat terjadi di daerah yang jarang dilalui arus lalu lintas.




d. Bums and Sags
Merupakan tonjolan kecil yang terjadi pada permukaan perkerasan, berbeda dengan jembul (shoving) yang di sebabkan oleh ketidak stabilan aspal, bumps and sags ini dapat disebabkan oleh penumpukan material pada suatu celah jalan yang diakibatkan oleh beban lalu lintas.











Gambar 3.23 Bums and Sags

e.         Corrugation
Keriting (corrugation) Kerusakan lapian perkerasan tampak seperti bergelombang dimana jarak antara tiap gelombang sangat dekat. Tingkat kerusakan diukur dari beda tinggi antar lembah dan puncak gelombang. Penyebab kerusakan dimungkinkan oleh terjadinya pergeseran bahan perkerasan, lapis perekat antara lapis permukaan dan lapis pondasi tidak memadai, pengaruh kendaraan yang sering berhenti dan berjalan secara tiba – tiba. Tingkat kerusakan keriting dapat diukur berdasarkan kedalaman keriting yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan (low) kedalaman < ½ inchi, untuk (medium) kedalaman ½ – 1 inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 1 inchi.

f.         Depression
Amblas (depression) merupakan kerusakan yang terjadi dimana suatu permukaan lapisan perkerasan lebih rendah daripada lapisan permukaan di sekitarnya, sehingga kondisi jalan tampak seperti membentuk kubangan atau lengkungan. Kerusakan ini terjadi karena beban lalu lintas yang berlebih tidak sesuai dengan perencanaan. Tingkat kerusakan amblas dapat diukur berdasarkan kedalaman amblas yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan (low) kedalaman ½ - 1 inchi, untuk (medium) kedalaman 1 – 2 inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 2 inchi.
g.        Edge Cracking
Kerusakan yang terjadi pada tepi lapis perkerasan yang tampak berupa retakan, kerusakan jenis ini biasanya terjadi akibat kepadatan lapis permukaan di tepi perkerasan tidak memadai, juga disebabkan seringnya air yang dari bahu jalan.
h.        Joint Reflection Cracking
Retak refleksi merupakan jenis kerusakan jalan yang berbentuk seperti retak memanjang dan melintang membentuk kotak. Retak refleksi ini merupakan gambaran dari retak perkerasan sebelumnya.
i.         Lane / Shoulder Drop Off
Ditandai dengan adanya perbedaan elevasi antara badan jalan dengan bahu jalan. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh erosi tanah pada bahu jalan, penurunan tanah dasar pada bahu, dan juga perencanaan jalan tanpa menyesuaikan tingkat bahu jalan. Kerusakan ini sangat berbahaya bagi pengendara karena perbedaan elevasi yang besar antara badan jalan dan bahu jalan dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
j.         Longitudinal and Transverse Cracking
Retak memanjang (longitudinal cracking) merupakan retak yang terjadi searah dengan sumbu jalan, retak melintang (transverse cracking) merupakan retak yang terjadi tegak lurus sumbu jalan. Retak ini disebabkan oleh kesalahan pelaksanaan, terutama pada sambungan perkerasan atau pelebaran, dan juga dapat disebabkan penyusutan permukaan aspal akibat suhu rendah atau pengerasan aspal.
k.       Patching and Utility Cut Patching
Tambalan (patching) adalah wilayah perkerasan yang telah diganti menjadi baru untuk memperbaiki perkerasan yang ada. Tambalan dianggap merupakan cacat jalan walaupun sudah di kerjakan dengan sangat baik. Idetifikasi terhadap tambalan ini biasanya diukur dengan menghitung luasan tambalan. Tambalan dibagi berdasarkan tingkat kerusakannya yaitu tingkat kerusakan rendah (low), sedang (medium), dan berat (high), sesuai dengan bentuk tambalannya.
l.          Polished Aggregate
Kerusakan ini ditandai dengan aggregat pada permukaan jalan menjadi halus dan licin akibat beban lalu lintas yang berulang ulang. Ini menyebabkan daya saling mengikat antara ban kendaraan dengan aspal menjadi berkurang sehingga berbahaya pada saat mengemudi kencang karena jalan memiliki tingkat kekasaran (skid resistance) yang rendah. Cara mengukur adalah dengan menghitung luasan yang mengalami polished aggregate, tetapi jika disertai dengan kerusakan kegemukan (bleeding), maka polished aggregate diabaikan.
m.      Potholes
Lubang (potholes) biasanya berukuran tidak begitu besar (diameter < 90 cm). berbentuk seperti mangkuk yang tidak beraturan dengan pinggiran tajam. pertumbuhan lubang semakin besar diakibatkan kondisi air yang tergenang pada badan jalan. Lubang pada dasarnya bermula dari retak-retak yang semakin parah akibat air meresap hingga ke lapisan jalan sehingga menyebabkan sifat saling mengikat aggregat dalam lapisan menjadi berkurang.
n.        Railroad Crossing
Kerusakan ini merupakan lintasan jalur kereta api yang terdapat dalam jalan raya. Terdapat benjolan dan lengkugan pada daerah lintasan ini sehingga mengganggu kenyamanan pengendara. Cara mengukur adalah dengan menghitung luasan jalur kereta yang melintasi jalan dan juga diukur sesuai dengan tingkat kerusakannya.
o.       Rutting
Alur (rutting) adalah penurunan setempat yang terjadi pada jalur roda kendaraan, alur pada permukaan jalan ada yang disertai retak dan tanpa disertai retak. Alur tidak terjadi di seluruh permukaan badan jalan, hanya pada daerah yang dilalui roda kendaraan. Dapat disebabkan adanya muatan yang berlebih sehingga menyebabkan deformasi yang permanen pada permukaan jalan. Jika alur sering tergenang air maka dapat meningkat menjadi lubang. Berdasarkan tingkat kerusakannya, alur di bagi menjadi 3 yaitu, tingkat kerusakan rendah (low) dengan kedalaman peurunan ¼ - ½ inchi, tingkat kerusakan sedang (medium) dengan kedalaman penurunan > ½ - 1 inchi, dan tingkat kerusakan buruk (high) dengan kedalaman penurunan > 1 inchi.
p.       Shoving
Jembul (shoving) umumya terjadi di sekitar alur roda kendaraan di tepi perkerasan dan sifatnya permanen. Kerusakan ini disebabkan oleh arus lalu lintas yang melebihi beban standar. Cara mengukur jembul adalah dengan mengukur luasan permukaan sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi.
q.       Slippage Cracking
Retak selip (slippage cracking) merupakan retak menyerupai bulan sabit atau setengah retak berbentuk bulan yang memiliki dua ujung menunjuk jauh kearah lalu lintas. Cara mengukur retak selip adalah dengan mengukur luasan permukaan sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi mulai dari rendah (low), sedang (medium), dan buruk (high).
r.          Swell
Pembengkakan jalan (swell) merupakan kerusakan yang di tandai dengan tonjolan di sekitar permukaan jalan dan dapat mencapai panjang sekitar 3 m pada permukaan jalan, dapat juga disertai retak permukaan. Ini disebabkan kepadatan tanah dasar yang kurang. Memiliki tingkatan kerusakan mulai dari rendah (low), sedang (medium), dan buruk (high).
s.        Weathering and Ravelling
Kerusakan ini ditandai dengan permukaan perkerasan yang kasar dan rusak akibat hilangnya bahan pengikat aspal atau tar sehingga menyebabkan pelepasan butiran aggregat. Pelepasan butiran ini menunjukkan kualitas aspal serta campuran yang rendah atau ada kesalahan dalam pencampuran. Pelepasan butiran ini juga dapat di sebabkan adanya lalu lintas yang berlebih. Berdasarkan tingkat kerusakannya dapat dibedakan menjadi kerusakan rendah (low) ditandai dengan dimulainya pelepasan butiran pada permukaan jalan, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan pelepasan butiran yang menyebabkan permukaan jalan menjadi tidak rata dan kasar, kerusakan berat (high) yang ditandai dengan pelepasan butiran yang menyebabkan permukaan menjadi tidak rata, kasar, dan tidak jarang disertai dengan adanya lubang disekitar kerusakan.

3.2.2                Perkerasan Kaku
Perkerasan jalan beton semen atau secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri atas plat (slab) beton semen sebagai lapis pondasi dan lapis pondasi bawah (bisa juga tidak ada) di atas tanah dasar. Dalam konstruksi perkerasan kaku, plat beton sering disebut sebagai lapis pondasi karena dimungkinkan masih adanya lapisan aspal beton di atasnya yang berfungsi sebagai lapis permukaan.
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban ke bidang tanah dasra yang cukup luas sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat beton sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari tebal lapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis permukaan.

Karena yang paling penting adalah mengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling diperhatikan dalam perencanaan tebal perkerasan beton semen adalah kekuatan beton itu sendiri. Adanya beragam kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya berpengaruh kecil terhadap kapasitas struktural perkerasannya.

Lapis pondasi bawah jika digunakan di bawah plat beton karena beberapa pertimbangan, yaitu antara lain untuk menghindari terjadinya pumping, kendali terhadap sistem drainasi, kendali terhadap kembang-susut yang terjadi pada tanah dasar dan untuk menyediakan lantai kerja (working platform) untuk pekerjaan konstruksi.
Secara lebih spesifik, fungsi dari lapis pondasi bawah adalah :
1.      Menyediakan lapisan yang seragam, stabil dan permanen.
2.      Menaikkan harga modulus reaksi tanah dasar (modulus of sub-grade reaction = k), menjadi modulus reaksi gabungan (modulus of composite reaction).
3.      Mengurangi kemungkinan terjadinya retak-retak pada plat beton.
4.      Menyediakan lantai kerja bagi alat-alat berat selama masa konstruksi.
           
            Menghindari terjadinya pumping, yaitu keluarnya butir-butiran halus tanah bersama air pada daerah sambungan, retakan atau pada bagian pinggir perkerasan, akibat lendutan atau gerakan vertikal plat beton karena beban lalu lintas, setelah adanya air bebas terakumulasi di bawah pelat.Pemilihan penggunaan jenis perkerasan kaku dibandingkan dengan perkerasan lentur yang sudah lama dikenal dan lebih sering digunakan, dilakukan berdasarkan keuntungan dan kerugian masing-masing jenis perkerasan tersebut seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Perbedaan antara Perkerasan Kaku dengan Perkerasan Lentur.
No
Jenis Perbedaan
Perkerasan Lentur
Perkerasan Kaku
1
Bahan Pengikat
Aspal
Semen
2
Repetisi Beban
Timbul Rutting (lendutan pada jalur roda)
Timbul retak retak pada permukaan
3
Penurunan Tanah Dasar
Jalan bergelombang (mengikuti tanah dasar)
Bersifat sebagai balok diatas perletakan
4
Perubahan Tempratur
Modulus kekakuan berubah.
Timbul tegangan dalam yang kecil
Modulus kekakuan tidak berubah.
Timbul tegangan dalam yang besar

3.2.2.1       Perkembangan perkerasan kaku
Pada awal mula rekayasa jalan raya, plat perkerasan kaku dibangun langsung di atas tanah dasar tanpa memperhatikan sama sekali jenis tanah dasar dan kondisi drainasenya. Pada umumnya dibangun plat beton setebal 6 - 7 inch. Dengan bertambahnya beban lalu-lintas, khususnya setelah Perang Dunia ke II, mulai disadari bahwa jenis tanah dasar berperan penting terhadap unjuk kerja perkerasan, terutama sangat pengaruh terhadap terjadinya pumping pada perkerasan. Oleh karena itu, untuk selanjutnya usaha-usaha untuk mengatasi pumping sangat penting untuk diperhitungkan dalam perencanaan.
            Pada periode sebelumnya, tidak biasa membuat pelat beton dengan penebalan di bagian ujung / pinggir untuk mengatasi kondisi tegangan struktural yang sangat tinggi akibat beban truk yang sering lewat di bagian pinggir perkerasan.Kemudian setelah efek pumping sering terjadi pada kebanyakan jalan raya dan jalan bebas hambatan, banyak dibangun konstruksi pekerasan kaku yang lebih tebal yaitu antara 9 - 10 inch.
Guna mempelajari hubungan antara beban lalu-lintas dan perkerasan kaku, pada tahun 1949 di Maryland USA telah dibangun Test Roads atau Jalan Uji dengan arahan dari Highway Research Board, yaitu untuk mempelajari dan mencari hubungan antara beragam beban sumbu kendaraan terhadap unjuk kerja perkerasan kaku.Perkerasan beton pada jalan uji dibangun setebal potongan melintang 9 - 7 - 9 inch, jarak antara siar susut 40 kaki, sedangkan jarak antara siar muai 120 kaki. Untuk sambungan memanjang digunakan dowel berdiameter 3/4 inch dan berjarak 15 inch di bagian tengah. Perkerasan beton uji ini diperkuat dengan wire mesh.
Tujuan dari program jalan uji ini adalah untuk mengetahui efek pembebanan relatif dan konfigurasi tegangan pada perkerasan kaku. Beban yang digunakan adalah 18.000 lbs dan 22.400 pounds untuk sumbu tunggal dan 32.000 serta 44.000 pounds pada sumbu ganda. Hasil yang paling penting dari program uji ini adalah bahwa perkembangan retak pada pelat beton adalah karena terjadinya gejala pumping. Tegangan dan lendutan yang diukur pada jalan uji adalah akibat adanya pumping.
Selain itu dikenal juga AASHO Road Test yang dibangun di Ottawa, Illinois pada tahun 1950. Salah satu hasil yang paling penting dari penelitian pada jalan uji AASHO ini adalah mengenai indeks pelayanan. Penemuan yang paling signifikan adalah adanya hubungan antara perubahan repetisi beban terhadap perubahan tingkat pelayanan jalan. Pada jalan uji AASHO, tingkat pelayanan akhir diasumsikan dengan angka 1,5 (tergantung juga kinerja perkerasan yang diharapkan), sedangkan tingkat pelayanan awal selalu kurang dan 5,0.


3.2.2.2       Jenis-jenis perkerasan jalan beton semen
Berdasarkan adanya sambungan dan tulangan plat beton perkerasan kaku, perkerasan beton semen dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis sebagai berikut:
Perkerasan beton semen biasa dengan sambungan tanpa tulangan untuk kendali retak.
1.            Perkerasan beton semen biasa dengan sambungan dengan tulangan plat untuk kendali retak. Untuk kendali retak digunakan wire mesh diantara siar dan penggunaannya independen terhadap adanya tulangan dowel.
2.            Perkerasan beton bertulang menerus (tanpa sambungan). Tulangan beton terdiri dari baja tulangan dengan prosentasi besi yang relatif cukup banyak (0,02 % dari luas penampang beton).
Pada saat ini, jenis perkerasan beton semen yang populer dan banyak digunakan di negara-negara maju adalah jenis perkerasan beton bertulang menerus.

3.2.3              perkerasan komposit
Perkerasan komposit merupakan gabungan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) dan lapisan perkerasan lentur (flexible pavement) di atasnya, dimana kedua jenis perkerasan ini bekerja sama dalam memilkul beban lalu lintas. Untuk ini maka perlua ada persyaratan ketebalan perkerasan aspal agar mempunyai kekakuan yang cukup serta dapat mencegah retak refleksi dari perkerasan beton di bawahnya.Konstruksi ini umumnya mempunyai tingkat kenyamanan yang lebih baik bagi pengendara dibandingkan dengan konstruksi perkerasan beton semen sebagai lapis permukaan tanpa aspal.
3.3     JENIS PEMELIHARAAN JALAN
Pemeliharaan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan, rehabilitasi, penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan ditinjau dari waktu pelaksanaannya adalah :
1.      Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun.
2.      Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kekuatan struktural.
3.      Peningkatan jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya guna mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRUKTUR BETON II

BANGUNAN AIR I

sejarah jembatan